Ada fenomena yang menarik tatkala
dibuka lowongan menjadi Go-Jek. Go-Jek? Itu lho! Ojek yang bisa dipanggil
dengan cara smartphone. Apalagi, dalam lowongan itu dijanjikan gaji sekitar
5-6jt. Dan bagi sebagian besar yang bekerja di kantor, uang itu lumayan. Hanya
perlu rajin “narik” motor, nggak perlu besusah-susah di kantor. Bisa dapat
penghasilan yang lumayan. Begitulah janjinya.
Tak mengherankan ketika lowongan
Go-Jek dibuka orang pun berduyun-duyun kesana. Yang mencengangkan adalah ketika
salah satu harian membuat headline menarik keesokan harinya, “RIBUAN SARJANA
DAFTAR JADI GO-JEK”.
Go-Jek ataupun Grabbike memang
sedang fenomenal. Itu menjadi jawab kondisi yang macet, serta butuh transportasi
cepat untuk berbagai keperluan untuk kota besar seperti Jakarta. Ternyata,
munculnya Go-Jek menjadi ide yang sangat brilian. Smart phone, rata-rata
dimiliki setiap orang. Sementara, layanan transportasi cepat memang sedang
dibutuhkan. Makanya, Go-Jek dianggap fenomenal. Dan yang lebih fenomenal itu
tentunya, sarjana-sarjana memilih jadi pengendara Go-Jek saja. Alasannya: uang!
Rata-rata para sarjana ini berkomentar, “Tak perlu gengsi, yang penting uangnya
halal!”.
Mempermalukan Siapa?
Para sarjana yang melamar
pekerjaan tidaklah salah. Mereka mencari alternatif pilihan hidup yang lebih
baik. Makanya, ketika Go-Jek buka lowongan dengan peluang gaji 5-6jt. Merekapun
berbondong-bondong mengajukan dirinya.
Tentu saja, kita pun ingin melihat
kehidupan mereka juga menjadi lebih baik. Tapi, tetap saja, hati ini rasanya
miris. Bayangkan, dengan susah payah 4 tahun kuliah dan belajar lantas kemudian
menjadi ojek sepeda motor?
Siapa yang perlu jadi malu?
Bukanlah para sarjana ini! Tetapi yang perlu malu dan berpikir keras adalah
para pendidik serta orang-orang yang berkecimpung dalam hal mendidik para
sarjana kita.
Jelas-jelas pendidikan kita masih
banyak yang kurang kualitasnya. Pendidikan kita yang tidak membuat para sarjana
kita bisa bekerja dengan kualitas bagus sehingga karirnya di perusahaan bisa
lebih maju. Pendidikan kita tidak melatih sarjana yang bisa punya karir baik
yang akhirnya bisa membuat mereka tidak perlu tengok kiri dan ke kanan, mencari
lowongan. Kenyataannya tidaklah demikian. Banyak lulusan sarjana yang
kondisinya serba tanggung. Nggak siap. Juga sebenarnya nggak punya “hati”
dengan pilihan studinya. Makanya, tak heran banyak sarjana yang tidak tertarik
menghidupi bidang yang sesuai dengan studinya.
Rasanya, ini juga mempermalukan
perusahaan. Artinya, fenomena ini juga bisa dilihat bahwa perusahaan banyak
yang tidak mampu memberikan kepastian karir dan kebanggan kepada karyawannya.
Bayangkan, tatkala ada sarjana yang mengatakan begini, “Sudah nggak bangga
bekerja di perusahaan, karir tidak jelas, juga gajinya juga nggak besar-besar
amat!”. Jadilah kerja di perusahaan dirasakan tidak punya added value. Makanya,
tak mengherankan pula jika banyak sarjana ini yang memilih langkah praktis,
kerja jadi ojek ajalah.
Salut Tapi Juga
Pantas Dipertanyakan!
Memang kita salut akan adanya
sarjana yang bersedia jadi Go-jek. Bagi mereka, “Tidak apa-apa jadi Go-jek,
karena duitnya lebih banyak. Asalkan rejekinya hahal”. Disisi inilah kita perlu
acungkan jempol karena mereka bersedia jadi apapun, tidak lagi “gengsi” meski sudah
berlabel sarjana.
Tapi, kalau kita ingin analisa
lebih mendalam. Tetap saja, fenomena ini jadi pertanyaan. “Inikah wajah
generasi yang akan melakukan apapun, asalkan bisa dapat uang?”. Memang sih
uangnya adalah uang halal. Tapi, pertanyaannya sekali lagi, akankah semua hal
dilakoni kalau uangya halal.
Sayapun teringat dengan sebuah
fakta menarik soal pengemis. Tahukah Anda? Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan
pernah mengungkapkan fakta yang mencengangkan. Coba tebak, berapa uang yang bisa
dihasilkan para pengemis sehari. Faktanya, jika wajahnya sangat memelas dan
bikin “sangat-sangat kasihan”, penghasilannya Rp750rb hingga 1jt PER HARI!
Namun, kalau wajahnya standard aja, penghasilan antara Rp 300rb hingga Rp500.
Bayangkan kalau angka itu dikali 30 hari. Berarti, gajinya minimal bisa 15jt. Wow!
Itulah gaji pengemis! Sekali lagi, pengemis!!!
Dengan kondisi para sarjana yang
mencari “uang banyak asal halal”. Bisa-bisa, kelak kita mulai akan menemukan
fenomena para sarjana yang jadi “peminta-minta”. Bisakah terjadi? Bisa saja!
Kan uangnya halal juga!
Wajah Bopeng Pendidikan
Sekarang, ijinkanlah saya melihat
dari sisi sebagai orang yang lama berkecimpung dalam dunia HRD dan juga sebagai
seorang pebisnis.
Bagi seorang praktisi seperti saya,
pendidikan seharusnya melatih dua hal penting. Pertama, kompetensi dari bidang
keilmuannya. Kedua, karakter ataupun harga diri karena keilmuannya.
Harapan kita tentang seorang
sarjana yang lulus tentu saja ia bisa bekerja sesuai dengan keilmuannya. Kedua,
ia bangga dan mempunyai karakter sebagai seorang sarjana dengan keilmuannya.
Nyatanya? Banyak perusahaan mengeluh. Banyak sarjana yang tidak tahu apa-apa,
bahkan tidak “siap latih”, apalagi “siap pakai”. Lantas, banyak pula sarjana
yang karakternya tidak mencerminkan karakter seorang sarjana yang dianggap
sudah punya pendidikan tinggi.
Ditambah lagi sekarang ini, banyak
pendidikan yang menawarkan cara cepat menjadi sarjana (Ini belum terhitung para
sarjana yang mendapatkan kesarjanaannya dengan cara membeli, ataupun curang).
Kuliah semester dan tugas-tugas yang ringan. Dosen-dosen yang kurang
kualitasnya. Lantas, dari situlah para sarjana ini muncul. Para sarjana inipun
senang karena punya gelar di belakang namanya (S.Kom, S. Psi, S.H atau apapun
gelar kesarjanaannya). Gelarnya sarjana, tapi kualitasnya tidaklah sarjana.
Itulah yang terjadi. Akibatnya, tatkala betul-betul bersaing di dunia kerja.
Inilah sarjana yang akhirnya tersisihkan (permohonan maaf sebesar-besarnya buat
Anda yang sarjana yang kualitasnya memang luar biasa! Saya tahu, ada banyak
sarjana yang berkualitas SANGAT-SANGAT BAGUS PULA!).
Tapi kembali ke fenomena sarjana
jadi Go-Jek. Bisa jadi ini juga tamparan bahwa pendidikan kita belum bisa
memberikan kualitas sarjana yang punya kompetensi serta karakter kerja yang
betul-betul dicungi jempol. Makanya, ketika ada lowongan apapun, mereka akan
mencarinya. Artinya, fenomena ini sedang menjadi “lampu kuning” buat indikator
kualitas pendidikan kita!
So, Praktisnya?
Langkah praktisnya? Saatnya kita
benahi pendidikan sarjana. Jangan bangga punya banyak sarjana. Buat apa punya
banyak sarjana, tapi tidak kompeten di bidang ilmunya. Jangan juga sembarangan
mendirikan dan memberi ijin membangun pendidikan tinggi. Apalagi kualitas dan
idealismenya nggak jelas. Jangan hanya gara-gara dapat uang suap, lantas
dikasih ijinlah kesempatan bikin perguruan tinggi, akademi atau apapun. Stop
juga fenomena mencari gelar dengan “tidak halal”. Ini harus dibasmi mulai dari
Wakil Rakyat kita! Bagi saya, seoarang anak yang tidak lulus sekolah, lebih
terhormat dari Wakil Rakyat yang dapat gelarnya dengan dibeli. Paling nggak,
anak ini berusaha.
Dan akhirnya.
Fenomena ribuan sarjana yang
melamar jadi Go-Jek mesti membuat kita semua tertunduk malu (ataukah bangga).
Tahu nggak ketika kemarin, salah
satu kenalan saya berkata begini.
“Eh, tadi waktu ke studio, saya
dianter oleh Go-Jek. Tahu nggak sih pengemudi Go-Jek saya punya gelar S.Kom di
belakang namanya!” Keren kan??
Kerenkah..atau perlukan kita
tertunduk menangis untuk pendidikan kita?
Saya Sarjana Ekonomi & Driver Go-Jek Sebelum Bapak membandingkan kami Driver Gojek Dengan pengemis,Asal bapak tau saja Ngelamar kerja pake Gelar sarjana itu susah banget karena rata2 orang mencari pegawai dari Kenalan + kalaupun dapet paling Gaji UMR ditempat saya 2,5jt bapak pikir aja sendiri uang segitu cukupkah untuk bayar kos,makan ,bayar cicilan & hidup secara layak?
BalasHapusApa salah kalau kami memilih Pekerjaan yang mampu memberikan Hidup Layak?
Maaf pak , Tapi bukannya ntar kelamaan pasti naik pak ?
HapusNaik berapa persen dan berapa lama ? 😅
HapusNaik darimana kalo gak kerjo :V
BalasHapussarjana jdi ojek online .kalian buang waktu .pikiran .biaya . universitas enak soal nya udh dibayar tinggi sama kalian.gelar kalian SO .sarjana ojol
BalasHapus