Jumat, 12 Desember 2014

“KETIKA PEMAHAMAN MULAI DIPORAK-PORANDAKAN” (Trend Demistifikasi Tokoh Legenda, Superhero serta Tokoh Kitab Suci)



Ini lagi ngentrend rupanya! Holywood lagi hobi membuat film yang “mendemistifikasi” para tokoh dan legenda!

Demistifikasi itu apa sih? Penjelasan sederhananya, demistifikasi adalah berbagai upaya untuk menghilangkan sesuatu yang selama ini dianggap mitos, legenda, dll.

Sebagai contoh, sejak kecil kita mengenal sosok superhero Superman, manusa pembela kebenaran. Manusia baja yang tidak tembus peluru, bisa terbang dan punya kemampuan melihat menembus sinar. Dalam film Superman Returns di tahun 2006 digambarkan jalinan asmara Superman dengan Lois Lane yang ternyata memberinya anak. Superman ternyata punya anak? Iya, itulah yang ditunjukkan di film ini. Hasil perkawinan tanpa pernikahan, antara si alien “Superman” dengan manusia bumi bernama Lois Lane.


Berikutnya, lebih maju ke depan. Kalau sempat, cobalah saksikan pula film “Hercules” yang pada pertengahan tahun 2014 muncul di bioskop. Yang jelas, saya agak tercengang. Sosok Hercules yang diperankan oleh Dwayne “The Rock” Johnson ternyata bukanlah tokoh legenda anak Zeus, seperti yang sering kita baca sewaktu masih kecil. Juga bukan tokoh hebat, seperti yang dikisahkan dalam dongeng ataupun film animasi yang pernah dibuat. Film ini mencoba menggambarkan kisah Hercules yang cuma ternyata seorang manusia. Ternyata tokoh tersebut hanyalah rekayasa para pendongeng yang membesar-besarkan kisah kehebatannya. Hercules yang digambarkan disini adalah tokoh pembunuh bayaran yang bertempur “membela yang bayar”. Tidak ada yang namanya anak dewa, tidak ada ular naga dan tidak ada Centaurus seperti dalam kisah dan legenda. Semuanya hanya mitos dan dongeng belaka. Hercules bisa terluka, sedih dan menderita!

Film ini sama sekali memporakporandakan berbagai mitos dan legenda tentang Hercules yang selama ini kita ketahui. Buat anak-anak atau siapapun yang pernah mengidolakan tokoh Hercules, film ini bisa dianggap mengacaukan persepsi yang selama ini telah dibangun tentang tokoh tersebut!

Dan tentukan, kita masih ingat dengan film The Last Temptation of Christ yang menciptakan banyak hujatan. Lantas, film Noah terbaru karya Darren Aronofsky yang menggambarkan bahwa ketika membangun kapalnya, Nabi Nuh ternyata dibantu oleh raksasa berbetuk batu yang disebut the Watchers. Yang jelas, makin lama kita menonton film ini, kita makin geleng-geleng kepala karena menjungkirbalikkan apa yang kita yakini dan ketahui selama ini.

Sisi Positif dan Negatif Dari Demistifikasi Ini
Para pembuat film di Holywood pastilah akan berkilah. Lha kan ini kreativitas? Selama itu kreatif, kan sah-sah aja? Melalui film ini Holywood seakan berkata, “Banyak tokoh legenda yang mungkin memang tidak sehebat yang kita pikirkan”. Selain itu, film semacam ini dengan nakal mengajak kita berpikir dengan nalar yang berbeda. Bagaimana kalau seandainya tokoh legenda yang kita kenal itu tidak sedahyat yang kita pikirkan? Bagaimana kalau tokoh yag selama ini kita bicarakan, kita dengar kisahnya, yang kita puja, hanyalah mitos belaka yang dibuat-buat kehebatannya?

Sisi baiknya, film semacam “Hercules” yang menggambarkan Hercules sebagai manusia biasa, sungguh mengajak kita berpikir lebih dalam. Jangan-jangan apa yang selama ini kita percayai, hanyalah sebuah gossip dan hal yang dibesar-besarkan orang. Dengan kata lain, film ini ingin mengatakan “Ayolah. Semua itu hanya isapan jempol belaka. Cuma cerita yang dibesar-besarkan saja”.

Di sisi negatifnya, trend demisitifikasi ini bisa jadi kebablasan. Masalahnya, Holywood suka menerabas kemana-mana. Menciptakan versi alternatifnya yang lain.

Katakanlah, hari ini yang dibuat filmnya dan di”demistifikasi” adalah para tokoh cerita dalam komik.  Ataupun, kisah dalam dogeng, seperti yang dilakukan dalam film Maleficent yang memutarbalikkan dongeng soal putri tidur.

Besok-besok, kita akan melihat makin banyak proses demistifikasi yang dilakukan dengan para tokoh yang lainnya, termasuk kisah dalam Kitab Suci yang selama ini telah terjadi. Kita tentunya melihat bagaimana demistifikasi telah dilakukan dengan berbagai kisah dalam kitab suci termasuk film tentang nabi Nuh dalam film “Noah” yang akhirnya tidak pernah mendapatkan ijin untuk beredar bebas di Indonesia. Kalau kita lihat resensi filmnya, Nuh digambarkan sebagai tokoh yang paranoid, manusia biasa dan bukanlah seorang Nabi besar sebagaimana yang banyak kita bayangkan di dalam Kitab Suci. Konon, menanggapi kontroversi seputar film tentang Noah, sutradaranya kepada The New Yorker mengatakan bahwa  filmnya merupakan “film Alkitabiah paling tidak Alkitabiah yang pernah dibuat”. Targetnya sendiri adalahnya membuat versi alternatif dari kisah Kejadian. Jadi, itu adalah hasil kerjaan orang iseng yang dampaknya bisa luas.

Efek Psikologis Demistifikasi Ini
Setiap orang membutuhkan sosok pahlawan dalam dirinya. Secara psikologis, sosok pahlawan ini memberikan kita inpsirasi tentang kebaikan, tentang hal ideal yang harus dilakukan. Tokoh pahlawan juga memberikan harapan kepada kita.

Namun, apakah akibatnya ketika sosok yang kita idolakan, yang kita puja ataupun yang kita percayai ternyata tidak seperti apa yang kita bayangkan? Pastinya, kecewa!

Meskipun, kita tahu bahwa versi yang diciptakan oleh film-film semacam Holliwood itu tidaklah benar. Misalkan saja, dalam filmnya dikisahnya ternyata Nabi Nuh minum semacam hallucinogen (semacam cairan yang membuat orang tida sadar) untuk mendapatkan penglihatannya. Hal ini bisa menimbulkan pandangan bahwa ternyata Nabi Nuh tidak seperti yang diceritakan dalam Kitab Kejadian dimana Nabi Nuh berkomunikasi langsung dengan Tuhan. Dan meskipun, sang sutradara mengakui bahwa ini hanya fiktif dan bukan berdasarkan Kitab Suci. Tetapi, kita paham, efek dari film semacam ini sangat dahsyat. Awalnya, pemahaman yang selama ini muncul mulai digoncang, mulai dipertanyakan, dan lama-kelamaan pemahaman ini bisa berubah.

Sikap Dewasa Menyikapi Demistifikasi Ini
Tentu saja yang namanya kreativitas tidaklah bisa dicegah. Orang bisa bersikap apa saja dengan kreativitasnya. Tetapi, membatasi film-film semacam ini dari anak-anak yang tidak tahu perbedaan antara yang nyata dan fiktif, adalah cara yang pertama bisa dilakukan.

Cara kedua adalah pendampingan. Khususnya kalau film semacam itu sampai ditonton oleh anak-anak. Anak-anakpun perlu mendapat pemahaman mengenai versi yang sebenarnya dijadikan bahan acuan. Karena itulah, sebenarnnya dari pihak yang mendampingi juga perlu paham mengenai versi yang sesungguhnya.

Memang sih tidak pernah ada penelitian mengenai efek film-film “alternatif aneh” semacam TheTemptation of Christ ataupun Noah terhadap iman seseorang. Lagipula, rasanya terlalu dangkal pula kalau iman seseorang begitu mudahnya tergerus hanya gara-gara film semacam ini. Hanya saja, film semacam ini tetap saja akan dirasakan mengganggu, khususnya pemahaman yang selama ini kita miliki.

Pada akhirnya, saya berpikir, daripada berfokus pada larangan dan pembatasan akses kepada film semacam ini yang justru membuat orang semakin penasaran untuk menontonnya. Lebih penting adalah bagi para rohaniwan, para katekis dan guru agama untuk bersama-sama menonton serta mengomentari, dan menjelaskan kesalahan serta kekacauan yang dilakukan oleh film-film semacam itu. Dengan demikian, film-film itu justru menjadi semacam referensi soal kekeliruan pandangan. Dengan begitu kita melihat film ini justru sebagai contoh berbagai kesaalahan, kekeliruan dan kekacauan pandangan yang seharusnya membantu kita lebih paham dan lebih mendalam. Seperti kata pepatah, “Kebijaksanaan tertinggi adalah mampu menggunakan kekacauan dan kesalahan, sebagai sumber pembelajaran sejati”.


Anthony Dio Martin. "Best EQ trainer Indonesia", direktur HR Excellency, ahli psikologi, speaker, penulis buku-buku best seller, host program Smart Emotion di radio SmartFM Jakarta. Twitter: @anthony_dmartin dan website: www.hrexcellency.com







0 komentar:

Posting Komentar