Ini lagi ngentrend rupanya! Holywood lagi hobi membuat film yang “mendemistifikasi”
para tokoh dan legenda!
Demistifikasi itu apa sih? Penjelasan sederhananya, demistifikasi
adalah berbagai upaya untuk menghilangkan sesuatu yang selama ini dianggap
mitos, legenda, dll.
Sebagai contoh, sejak kecil kita mengenal sosok superhero Superman,
manusa pembela kebenaran. Manusia baja yang tidak tembus peluru, bisa terbang
dan punya kemampuan melihat menembus sinar. Dalam film Superman Returns di
tahun 2006 digambarkan jalinan asmara Superman dengan Lois Lane yang ternyata
memberinya anak. Superman ternyata punya anak? Iya, itulah yang ditunjukkan di
film ini. Hasil perkawinan tanpa pernikahan, antara si alien “Superman” dengan
manusia bumi bernama Lois Lane.
Berikutnya, lebih maju ke depan. Kalau sempat, cobalah saksikan pula film
“Hercules” yang pada pertengahan tahun 2014 muncul di bioskop. Yang jelas, saya
agak tercengang. Sosok Hercules yang diperankan oleh Dwayne “The Rock” Johnson
ternyata bukanlah tokoh legenda anak Zeus, seperti yang sering kita baca
sewaktu masih kecil. Juga bukan tokoh hebat, seperti yang dikisahkan dalam
dongeng ataupun film animasi yang pernah dibuat. Film ini mencoba menggambarkan
kisah Hercules yang cuma ternyata seorang manusia. Ternyata tokoh tersebut
hanyalah rekayasa para pendongeng yang membesar-besarkan kisah kehebatannya.
Hercules yang digambarkan disini adalah tokoh pembunuh bayaran yang bertempur
“membela yang bayar”. Tidak ada yang namanya anak dewa, tidak ada ular naga dan
tidak ada Centaurus seperti dalam kisah dan legenda. Semuanya hanya mitos dan
dongeng belaka. Hercules bisa terluka, sedih dan menderita!
Film ini sama sekali memporakporandakan berbagai mitos dan legenda
tentang Hercules yang selama ini kita ketahui. Buat anak-anak atau siapapun
yang pernah mengidolakan tokoh Hercules, film ini bisa dianggap mengacaukan
persepsi yang selama ini telah dibangun tentang tokoh tersebut!
Dan tentukan, kita masih ingat dengan film The Last Temptation of
Christ yang menciptakan banyak hujatan. Lantas, film Noah terbaru karya Darren
Aronofsky yang menggambarkan bahwa ketika membangun kapalnya, Nabi Nuh ternyata
dibantu oleh raksasa berbetuk batu yang disebut the Watchers. Yang jelas, makin lama kita menonton film
ini, kita makin geleng-geleng kepala karena menjungkirbalikkan apa yang kita
yakini dan ketahui selama ini.
Sisi Positif dan Negatif
Dari Demistifikasi Ini
Para pembuat film di Holywood pastilah akan berkilah. Lha kan ini
kreativitas? Selama itu kreatif, kan sah-sah aja? Melalui film ini Holywood
seakan berkata, “Banyak tokoh legenda yang mungkin memang tidak sehebat yang
kita pikirkan”. Selain itu, film semacam ini dengan nakal mengajak kita
berpikir dengan nalar yang berbeda. Bagaimana kalau seandainya tokoh legenda
yang kita kenal itu tidak sedahyat yang kita pikirkan? Bagaimana kalau tokoh
yag selama ini kita bicarakan, kita dengar kisahnya, yang kita puja, hanyalah
mitos belaka yang dibuat-buat kehebatannya?
Sisi baiknya, film semacam “Hercules” yang menggambarkan Hercules
sebagai manusia biasa, sungguh mengajak kita berpikir lebih dalam.
Jangan-jangan apa yang selama ini kita percayai, hanyalah sebuah gossip dan hal
yang dibesar-besarkan orang. Dengan kata lain, film ini ingin mengatakan “Ayolah. Semua itu hanya isapan jempol
belaka. Cuma cerita yang dibesar-besarkan saja”.
Di sisi negatifnya, trend demisitifikasi ini bisa jadi kebablasan.
Masalahnya, Holywood suka menerabas kemana-mana. Menciptakan versi alternatifnya
yang lain.
Katakanlah, hari ini yang dibuat filmnya dan di”demistifikasi” adalah para
tokoh cerita dalam komik. Ataupun, kisah
dalam dogeng, seperti yang dilakukan dalam film Maleficent yang memutarbalikkan
dongeng soal putri tidur.
Besok-besok, kita akan melihat makin banyak proses
demistifikasi yang dilakukan dengan para tokoh yang lainnya, termasuk kisah
dalam Kitab Suci yang selama ini telah terjadi. Kita tentunya melihat bagaimana
demistifikasi telah dilakukan dengan berbagai kisah dalam kitab suci termasuk
film tentang nabi Nuh dalam film “Noah” yang akhirnya tidak pernah mendapatkan
ijin untuk beredar bebas di Indonesia. Kalau kita lihat resensi filmnya, Nuh
digambarkan sebagai tokoh yang paranoid, manusia biasa dan bukanlah seorang
Nabi besar sebagaimana yang banyak kita bayangkan di dalam Kitab Suci. Konon,
menanggapi kontroversi seputar film tentang Noah, sutradaranya kepada The New
Yorker mengatakan bahwa filmnya
merupakan “film Alkitabiah paling tidak Alkitabiah yang pernah dibuat”.
Targetnya sendiri adalahnya membuat versi alternatif dari kisah Kejadian. Jadi, itu adalah hasil kerjaan orang iseng yang dampaknya
bisa luas.
Efek Psikologis
Demistifikasi Ini
Setiap orang membutuhkan sosok pahlawan dalam dirinya. Secara
psikologis, sosok pahlawan ini memberikan kita inpsirasi tentang kebaikan,
tentang hal ideal yang harus dilakukan. Tokoh pahlawan juga memberikan harapan
kepada kita.
Namun, apakah akibatnya ketika sosok yang kita idolakan, yang kita puja
ataupun yang kita percayai ternyata tidak seperti apa yang kita bayangkan? Pastinya,
kecewa!
Meskipun, kita tahu bahwa versi yang diciptakan oleh film-film semacam
Holliwood itu tidaklah benar. Misalkan saja, dalam filmnya dikisahnya ternyata
Nabi Nuh minum semacam hallucinogen (semacam cairan yang membuat orang tida
sadar) untuk mendapatkan penglihatannya. Hal ini bisa menimbulkan pandangan
bahwa ternyata Nabi Nuh tidak seperti yang diceritakan dalam Kitab Kejadian
dimana Nabi Nuh berkomunikasi langsung dengan Tuhan. Dan meskipun, sang
sutradara mengakui bahwa ini hanya fiktif dan bukan berdasarkan Kitab Suci.
Tetapi, kita paham, efek dari film semacam ini sangat dahsyat. Awalnya,
pemahaman yang selama ini muncul mulai digoncang, mulai dipertanyakan, dan
lama-kelamaan pemahaman ini bisa berubah.
Sikap Dewasa Menyikapi
Demistifikasi Ini
Tentu saja yang namanya kreativitas tidaklah bisa dicegah. Orang bisa
bersikap apa saja dengan kreativitasnya. Tetapi, membatasi film-film semacam ini
dari anak-anak yang tidak tahu perbedaan antara yang nyata dan fiktif, adalah
cara yang pertama bisa dilakukan.
Cara kedua adalah pendampingan. Khususnya kalau film semacam itu sampai
ditonton oleh anak-anak. Anak-anakpun perlu mendapat pemahaman mengenai versi
yang sebenarnya dijadikan bahan acuan. Karena itulah, sebenarnnya dari pihak
yang mendampingi juga perlu paham mengenai versi yang sesungguhnya.
Memang sih tidak pernah ada penelitian mengenai efek film-film
“alternatif aneh” semacam TheTemptation of Christ ataupun Noah terhadap iman
seseorang. Lagipula, rasanya terlalu dangkal pula kalau iman seseorang begitu
mudahnya tergerus hanya gara-gara film semacam ini. Hanya saja, film semacam
ini tetap saja akan dirasakan mengganggu, khususnya pemahaman yang selama ini
kita miliki.
Pada akhirnya, saya berpikir, daripada berfokus pada larangan dan pembatasan
akses kepada film semacam ini yang justru membuat orang semakin penasaran untuk
menontonnya. Lebih penting adalah bagi para rohaniwan, para katekis dan guru
agama untuk bersama-sama menonton serta mengomentari, dan menjelaskan kesalahan
serta kekacauan yang dilakukan oleh film-film semacam itu. Dengan demikian,
film-film itu justru menjadi semacam referensi soal kekeliruan pandangan.
Dengan begitu kita melihat film ini justru sebagai contoh berbagai kesaalahan,
kekeliruan dan kekacauan pandangan yang seharusnya membantu kita lebih paham
dan lebih mendalam. Seperti kata pepatah, “Kebijaksanaan
tertinggi adalah mampu menggunakan kekacauan dan kesalahan, sebagai sumber
pembelajaran sejati”.
Anthony Dio Martin.
"Best EQ trainer Indonesia", direktur HR Excellency, ahli psikologi,
speaker, penulis buku-buku best seller, host program Smart Emotion di radio
SmartFM Jakarta. Twitter: @anthony_dmartin dan website: www.hrexcellency.com
0 komentar:
Posting Komentar