Selamat ulangtahun untuk bangsa Indonesia ke-70!
Selama seminggu
selama Ramadhan 2015 lalu, saya berkunjung ke negara Filipina. Ini kunjungan
untuk kepentingan pengembangan diri, tetapi kemudian saya manfaatkan pula untuk
jalan-jalan ke beberapa kota penting disana.
Terus
terang! Filipina adalah kota yang tidak terlalu populer untuk para turis dari
Indonesia. Mungkin karena makanannya, mungkin juga karena jaraknya. Entahlah!
Soalnya,
biasanya, kalau kita pergi ke Malayasia, Sungapura, China, Eropah hingga ke
Amerika, biasanya kita pasti ketemu dengan orang-orang berwajah Indo yang
setelah didekati ngobrol dalam bahasa Indonesia. Orang Indonesia, ada
dimana-mana! Tapi nggak di Filipin.
Justru
karena Filipina bukan kota yang populer, maka saya jadi ingin berbagai soal
pengalaman dan pembelajaran yang saya peroleh.
Melambung Dengan Tinjunya
Terus
terang, nama Filipina agak melambung belakangan ini setelah pertandingan tinju
yang disebut pertandingan abad ini antara Pacqiao dengan Maywheter. Meskipun
Pac Man kalah, tetapi spirit orang Filipina melambung tinggi setelah
pertandingan bergengsi ini. Pacquiao jadi atlit beken, dan seluruh dunia pun
jadi mengenal Filipina. Meski faktanya Pacquao kalah, tetapi Filipina menang!
Menang karena jadi makin kesohor.
Tapi
bukan itu yang saya pelajari.
Justru
ada beberapa sisi yang berusaha saya potret dari perjalanan saya tersebut.
Sesuatu
yang ingin saya sharingkan sebagai bahan refleksi dan renuangan saya pribadi dengan
melihat dan berinteraksi dengan orang-orang di Filipin itu sendiri.
Mirip Indonesia
Secara tata kota dan kondisi geografis, Filipin memang tidak terlalu
banya berbeda dengan Indonesia. Malahan, menurut saya banyak miripnya.
Ada
kondisi perumahan yang mewah di Manila. Wilayah sekitar Makati yang keren
dengan perkantorannya. Tapi banyak juga kawasan yang tetap kumuh dengan wajah
masyarakat miskinnya yang kentara.
Filipin juga
punya pantai-pantai cantik, termasuk Boracay yang bagi saya mirip seperti Balinya
kita. Juga kota-kota dengan banyak peninggalan bangunan tua dan bersejarah yang
bagi saya seperti Yogyakarta. Inipun negara yang pernah dan masih berjuang
melawan korupsi.
Kita mungkin
masih ingat perjuangan People Power di Filipina tahun 1986 yang terkenal untuk
menggulingkan kediktatoran Marcos. Dan saat ini pun, masih banyak politisi yang
korup dan bermasalah di Filipin, ini seperti yang saya baca di koran-koran
selama tinggal disana.
Lantas, Apa Yang Saya Pelajari?
Memang,
sebenarnya perjalanan ke Filipin ini memang dalam rangka belajar. Tetapi, bagi
saya pembelajaran dengan observasi dan berbincang-bincang memberikan saya banyak
inspirasi, yang ingin saya bagikan.
Pertama, pelajaran soal mendunia. Orang
Filipin sangat diuntungkan dengan kemampuan berbahasa Inggrisnya. Oleh karena
pernah menjadi bagian dari koloninya Amerika, maka rata-rata orang Filipin bisa
berbahasa Inggris selain bahasa aslinya, Tagalog. Inilah yang lantas memberi
keuntungan bagi mereka.
Entah
kebetulan atau tidak, saya pun menyaksikan acara Asia Got Talent season 1
dimana ada Anggun C Sasmi menjadi jurinya (sinilah saya merasa bangga!!!). 4
dari 9 filnalis ternyata berasal dari Filipina. Dan pemenangnya, juga jatuh ke tim Filipina,
El Gamma Penumbra.
Kalau
kita lihat, orang Indonesia, tidaklah kalah dalam hal seni dan kreativitas.
Tapi, sayangnya kita seringkali kalah dalam hal kepede-an kita lantaran
kemampuan berbahasa Inggris kita yang lemah. Satu pembelajaran penting dari
Filipin yang pertama. Bahasa Tagalog mereka sangat kuat, tetapi kemampuan
berbahasa Inggris juga bagus. Saatnya kita juga makin memantapkan kemampuan
berbahasa kita, tetapi Inggris kita pun harus semakin lancar. Ini berguna untuk
mempresentasikan diri kita ke dunia. Tapi selain itu, juga untuk bisa menerima
“dunia” ke dalam diri kita. Karena kemampuan bahasanya, Filpina sangatlah siap
untuk menerima turis manca negara. Ini keuntungan mereka!
Kedua, mereka miskin tapi tidak krisis
ekonomi. Katanya, sekarang ini perekonomian lagi bermasalah. Tatkala berbicara
dengan salah seorang pebisnis disana, ia menjawab dengan humornya, “Filipina tidak terlalu terkana krisis karena
kita sudah terbiasa hidup miskin (katanya sambil tertawa). Tetapi, lebih
penting adalah karena ditopang oleh begitu banyak tenaga kerja yang bekerja di
luar negeri yang menyumbang banyak untuk negeri ini”
Mungkin
ada benarnya!
Kita tahu, ada
banyak tenaga kerja Filipin di seluruh. Diperkirakan jumlahnya mencapai 10,5
juta lebih, di 170 negara. Paling banyak justru kerja di Saudi Arabia, mencapai
1 juta. Tak heran, jika perekonomian mereka banyak ditunjang oleh para tenaga
kerja di luar negeri yang kini sering disebut “baging bayani” atau “pahlawan
baru” ini. Di Indonesia, saya mengenal beberapa institusi pendidikan yang
mempekerjakan orang Filipin.
Indonesia
pun mirip. Ada banyak TKI kita yang bekerja di luar. Tapi sayangnya, tampaknya
pemerintah seringkali tidak terlalu mempedulikan seperti perhatian yang
diberikan oleh Filipina bagi tenaga kerja mereka. Padahal, jika terurus dengan
baik, TKI kita pun sebenarnya bisa jadi salah satu penopang perekonomian negara
kita.
Apakah
pemerintah kita kurang peduli? Entahlah. Tapi menurut saya, pemerintah kita
“seharusnya” semakin peduli dengan TKI kita diluar. Mulai dari lebih peduli
untuk meningkatkan kualitas mereka, juga sekaligus memperhatikan nasib mereka.
Mereka juga pahlawan devisa buat kita!
Hanya
saja, ada masalah yang kini dihadapi oleh Filipina sendiri. Kini, meskipun
banyak devisa masuk ke negeri ini, tenyata banyak pula yang dihambur-hamburkan
dan untuk keperluan konsumtivisme dan belanja-belanja. Jadi duit itu banyak
yang langsung habis, dan nggak ditabung-tabung! Itulah masalahnya, tatkala
orang yang miskin tiba-tiba menjadi kaya dan punya uang. Mentalnya seringkali
tidak siap. Kondisi inipun saya pikir, banyak dialami oleh orang-orang kita.
Ketiga, soal keyakinan diri. Salah
seorang keponakan saya yang bekerja dan bersekolah di sana mengungkapkan
perbedaan sikap orang Filipin saat di kelas.
Ketika
dosen bertanya dan minta pendapat, murid dan mahasiswa Filipin termasuk yang
sangat aktif dan sering mengacungkan tangan. Sementara, keponakan saya yang
mengambil S-2 di saya menyatakan, sangat berbeda polanya dengan tatkala ia
kuliah di Indonesia. Mahasiswa Indonesia, banyak yang tahu dan paham, tapi
kurang nyalinya untuk bicara dan mengeluarkan pendapat.
Keempat adalah soal etos kerja.
Saya
sempat bertanya soal etos kerja kepada keponakan saya yang sempat bekerja
sebagai leader di perusahaan di Filipina selama 2 tahun. Ia kini telah kembali
ke Indonesia.
Intinya, etos
kerja orang Filipina lebih serius dan lebih punya “passion” dalam melakukan
pekerjaannya. Bahkan, menurutnya, seorang satpam pun punya kebanggaan yang
begitu tinggi dalam melakukan tugasnya.
Ini sempat saya
alami. Entah ini kebetulan atas tidak, saya sendiri tidak tahu. Tapi, kalau
bicara soal etos kerja, inilah pengalaman saya di Filipina.
Saat itu, saya
sedang mengunjungi museum di Cebu.
Sebuah museum
yang menggunakan penjara tua dari jaman Portugis.
Saat itu masih
pagi dan seorang tour guide bermana “Danny Boy” dengan semangat menyapa.
Orangnya humoris, antusias dan juga semangat.
Baru
mengunjungi ruangan pertama (secara total ada 10 ruangan yang harus
dikunjungi), tiba-tiba managernya mendatangi si tour guide ini. Intinya “Ini ada kelompok 6 orang turis Jepang yang
perlu kamu pandu!”. Dan turis-turis itupun akhirnya datang ke tempat kami,
menunggu. Namun, setelah dengan ramah berbicara dalam bahasa Jepang kepada
mereka, si tour guide kami meninggalkan para turis Jepang itu dan melanjutkan
menemani kami. Ia menolak ajakan managernya untuk membiarkan kami berjalan dan
membaca sendiri apa yang tertulis di masing-masing foto atau artifak yang ada.
Ia memutuskan untuk tetap menemani kami.
Saat itulah ia
mulai cerita,
“Tadi barusan salah satu manager saya baru saja
menyuruh saya menemani turis Jepang. Katanya, turis Jepang biasanya akan kasih
duit lebih banyak. Saya bilang, nggak bisa karena sudah terlanjur guide kalian.
First come first serve. Nggak mungkin, saya tinggalkan kalian. Meskipun si manager
itu bilang kalau turis Jepang ini pasti akan kasih uang lebih banyak. Biarin
aja. Rejeki Tuhan yang mengatur”.
Terus terang
saya terkesan.
Si “Danny Boy”
ini sebenarnya bisa saja meninggalkan kami karena kami pun tidak meminta tour guide. Tapi dia begitu menikmati
menceritakan kisah-kisahnya.
Dan singkat
cerita, di akhir museum tour ini, saya memutuskan untuk memberikan “tip besar”
kepadanya. Kira-kira yang akan diberikan oleh kumpulan turis Jepang itu
kepadanya. Si Danny Boy ini pun terharu. Dan belakangan lagi ia baru cerita,
sambil mendampingi kami keluar. Ia hidup seorang diri dengan ibunya yang kena
stroke. Ia pun harus ngelaju sekitar 2 jam untuk bekerja di museum itu. Wow!
Waktu mengalam
ini, saya berjanji bahwa Inilah kisah yang perlu saya ceritakan setibanya saya
di Indonesia. Kisah tentang orang yang punya etos kerja.
Mungkin saja
tidak semua orang Filipin seperti di “Danny Boy” itu. Mungkin juga Danny Boy ini tidak mewakili
semua orang Filipin. Karena saya yakin, di Indonesia pun kita juga mendengar
ada orang-orang yang bekerja penuh dedikasi seperti si Danny Boy ini.
Tapi, yang
menarik buat saya adalah contoh etos kerja yang luar biasa ini.
Kembali kepada
pengalaman keponakan saya yang memimpin orang Filipin. Ia berkata, etos dan
semangat kerja orang Filipin lebih serius dan lebih bersemangat. Tidak banyak
membuang-buang waktu serta tidak banyak yang bermalas-malasan ketika kerja di
kantor.
Well, mungkin
itulah sebabnya yang membuat banyak orang suka memperkerjakan orang Filipin
karena etos kerjanya ini.
Akhirnya, kelima adalah pelajaran soal bagaimana
mereka menjaga dan melestarikan budaya. Termasuk tempat-tempat bersejarah.
Secara kota.
Mungkin banyak wilayah Indonesia, yang tampaknya lebih maju dari Filipina.
Tapi, ada satu kelebihan Filipina yang jelas nyata yakni pelestarian
barang-barang budaya dan seninya.
Mulai dari
bahasa, hingga sejarah serta berbagai properti ataupun artifak-artifaknya.
Sementara, di
Indonesia. Segala sesuatu berubah jadi mall, atau kalaupun tidak, jadi ruko!
Akibatnya,
banyak bangunan ataupun benda bersejarah yang lenyap. Atau, kalaupun ada, nggak
terawat kondisinya.
Bukan Mengagung-agungkan Filipina
Sekali lagi,
tulisan ini hanya sebuah refleksi.
Bukan
mengagung-agungkan Filipina, ataupun untuk merendahkan bangsa kita.
Ini adalah
tulisan soal memandang sisi positif serta mencari apa yang bisa kita
“benchmark”. Benchmark artinya, kita harus melihat sisi positif yang bisa kita
tiru.
Memang Filipina
juga tidak terlepas dari masalah. Masih banyak kemiskinan, masih banyak pula
bencana, juga masalah social lainnya sebagai negara berkembang, seperti
kebanyakan yang lain.
Oya, satu hal
juga. Karena Filipina banyak mengalami angin hujan topan dan badai. Rata-rata
bangunan di tepi pantai mereka dibangun dengan unik. Mereka memasang pelindung
dari plastik ataupun kain kasa untuk melindungi bangunan mereka. Inilah cara
mereka menyesuaikan diri. Tapi, dengan demikian, tatkala hujan, kita pun jadi
tidk basah dan tidak banyak pasir yang masuk ke rumah di tepi pantai. Jadi,
merekapun terpaksa menyesuaikan diri, karena ketidakberuntungan ini.
Beruntungnya,
kita di Indonesia tidak pernah mengalami angin topan dan badai seperti di
Filipina. Justru karena banyaknya keuntungan kita, jangan-jangan selama ini,
kita jadi makin terpuruk karena terlalu nyaman, kurang mau menantang diri
ataupun etos kerja kita yang masih buruk.
Semoga tulisan
refleksi ini, membuat kita bangun dan mau menjadi lebih baik.
Saya sendiri
tetap percaya dan optimis, ada banyak potensi pada diri bangsa kita. Tetapi,
memang kita perlu secara rendah hati mau mengakui kekurangan kita, tapi tida
lantas menjadi minder dan terus menerus mengembangkan diri kita.
Semoga tulisan
ini membuat kita ingin semakin lebih maju!
Dirgahayu untuk
bangsa kita yang merayakan ulang tahunnya yang ke 70!
0 komentar:
Posting Komentar