Ya, senang dong!
Yep! Tatkala upah naik, karyawan pastilah merasa amat senang hatinya.
Yang terbayang biasanya kredit yang bisa dilunasi lebih cepat, ataupun barang-barang yang tadinya hanya impian, mungkin akan terbeli.
Ataupun, berbagai rencana pembelian akan segera akan bisa direalisasikan.
Nah, justru disitulah masalahnya.
Saya menyebut ini dengan satu istilah: EFEK MORFIN.
Memang, ini istilah yang nggak pernah diperkenalkan.
Tapi, yang dsebut dengan efek morfin ini adalah:
Tatkala kita mendapatkan sesuatu kita merasa
senang, tetapi itu hanya sementara. Setelah itu, kita menginginkan yang
lebih banyak lagi.
Ya, mirip seperti orang yang kecaduanlah.
Awalnya, dengan dosis kecil aja, mereka sudah merasa cukup. Sudah cukup untuk membuat fly.
Tapi, tubuhpun kemudian adjust, menyesuaikan.
Lantas, tubuh meminta dosis yang lebih besar lagi.
Dan akhirnya, dosis yang dulunya dianggap cukup besar, kini tidak memadai lagi. Itulah Efek Morfin.
Hal ini juga berlaku saat gaji kita naik.
Awalnya, kita merasa bahagia, suka cita.
Lantas, apa yang terjadi adalah kebutuhan dan pengeluaran kitapun menyesuaikan. Akhirnya, kitapun mulai merasa kurang. Dan muncul tuntutan atas upah yang lebih tinggi lagi. Sama seperti efek morfin tadi.
Jadi, Upah Nggak Boleh Naik?
Tentu saja boleh. Bahkan, sejalan dengan waktu, yang namanya upah haruslah naik. Namun, upah itu naik karena banyak alasan.
Pertama, karena kebutuhan hidup yang makin meningkat harganya. Kita menyebutnya inflasi.
Kedua, karena perusahaan membaik. Maka, layaklah pula kalau karyawan pun diapresiasi. Ini tugas pemilik usaha. Tatkala bisnis makin baik, mestinya mereka peduli dan tidak lupa dengan karyawan yang selama ini membuat semua usahanya bisa membaik. Tapi, sebaliknya pula, karyawanpun harusnya bisa paham, tatkala bisnis merugi dan susah mestinya merekapun harus bisa paham bahwa sulit untuk menaikkan upah mereka secara signifikan. Ini namanya win-win!
Ketiga, karena prestasi. Biasanya, karena hasil dan prestasi yang gemilang, seorang karyawan diapreasiasi dengan gaji yang lebih baik. Bahkan, dalam sistem pengupahan, dikenal sistem pembayaran gaji berdasarkan 3P (Pay for Person, Pay for Position serta Pay for Performance).
Melawan Mentalitas Konsumtif
Ayo kita blik ke perbincangan awal kita.
Kecenderungan psikologis karyawan tatkala gajinya naik adalah mulai berpikir pengeluaran dan pembelian macam-macam.
Yang belum punya, mau dibeli. Yang sudah ada, mau diupgrade.
Akibatnya, ini menjadi sumber ketidakpuasan.
Juga sumber tidak produktifnya serang karyawan.
Setelah gajinya naik, umumnya prouktivitas akan naik untuk sementara.
Tapi ya itu, hanya sementara, setelah itu merekapun mulai kembali ke habit lamanya. Berkeluh kesah soal gaji mereka yang kurang.
Hingga tiba saatnya, gaji mereka dinaikkan.
Merekapun menjadi senang untuk sementara waktu. Tapi, inipun tidak lama.
Mereka pun akan merasa gajinya kurang lagi.
Begitulah siklus ‘komplain kurangnya gaji’ ini akan terus terjadi.
Padahal, sebenarnya gajinya mungkin tidak sekurang yang ia keluhkan.
Apalagi kalau bisa dibandingkan dengan gaji mereka-mereka yang nilainya lebih rendah. Toh, dengan gaji yang lebih kurang, ternyata mereka sanggup mencukupkan kebutuhan hidup mereka (bahkan dengan menanggung beberapa anak).
Tetapi ya tadi, namanya membandingkan hidup, selalu perbandingannya adalah dengan yang atas, dengan yang gaji dan keuangannya lebih baik. Akibatnya ya, karyawan pun merasa terus-menerus kekurangan.
Makanya, saya sendiri selalu mengajari diri sejak pertama kali kerja.
Dan inilah prinsip keuangan yang saya terapkan sehingga masih punya sisa uang yang cukup banyak. Prinsipnya begini:
Yang penting, bukanlah berapa uang yang kamu terima.Yang penting adalah berapa uang yang sanggup kamu tabung atau sisihkan.
Jangan Senang Pula Saat Pemerintah Naikkan Upah
Saya merasa geregetan juga, untuk membahas yang satu ini.
Soalnya baru-baru ini, pemerintah melalui paket kebijakan ekonominya mulai memutuskan tiap tahun akan menaikkan upah. Supaya dengan demikian, buruh-buruh nggak sibuk melakukan demo lagi. Soalnya, makin banyak demo, makin banyak ketidakpastian berbisnis, yang ujung-ujungnya iklim ekonomi jadi nggak kondusif. Makanya, gaji akan dinaikkan tiap tahun? Hore!!!
Tapi, sekali lagi jangan senang dulu.
Kita sendiri harus melihatnya secara makro.
Tatkala, kenaikan upah diumumkan oleh pemerintah efeknya juga akan kemana-mana.
Pertama-tama, bagi pengusaha. Tentu saja, ini bukan berita yang menggembirakan. Memang ada sih ada pengusaha yang pelit. Jadi, ini bagus juga untuk “menuntut” mereka agar lebih peduli. Tapi, jangan salah. Ada juga pengusaha yang sebenarnya baik hati. Tanpa diminta menaikkan gajipun, mereka pasti akan melakukan untuk timnya. Karena para pengusaha ini sadar, gaji adalah salah satu yang membuat orang-orang bagusnya tetap ‘stay” di perusahaan mereka. Jadi, menaikkan gaji adalah sesuatu yang memang harus dilakukan. Hanya saja yang jadi masalah adalah pengusaha dipaksa menaikkan gaji sementara kondisi bisnis tidak mendukung. So, apa yang biasanya akan dilakukan?
Langkah mudahnya pengusaha adalah mengikuti skema gaji yang diwajibkan. Tetapi, karena biayanya jadi besar maka PHK dan memangkas karyawan menjadi solusinya. Jadi karyawan mesti waspada ketika gaji besar dituntut secara masssal, maka pemutusan kerja akan menjadi bagian dari domino efeknya.
Kedua, terhadap harga. Ingatlah, salah satu komponen yang dimasukkan ketika menentukan harga suatu barang atau jasa, adalah upah ataupun gaji. Jadi, bayangkanlah begini. Tatkala perusahaan dipaksa untuk menaikkan gaji karyawannya. Maka, mau tidak mau merekapun jadi akan menaikkan harga barang ataupun jasanya. Dan bayangkanlah ini bukan hanya dilakukan oleh satu perusahaan tapi dilakukan oleh sebagian besar perusahaan yang terkena aturan menaikkan gaji karyawan. Akibatnya, ketika gaji naik, biasanya harga barangpun naik.
Saya jadi ingat ketika masa Orde Baru.
Itulah yang paling kentara.
Tatkala pemerintah mengumumkan menaikkan gaji pegawai negeri. Hal itu malah bikin ngeri.
Karena setelahnya, harga barang-barangpun melambung tinggi.
Jadi sebenarnya percuma kalau kenaikan gaji ternyata lantas diikuti dengan kenaikan barang-barang yang dikonsumsi. Bisa-bisa yang terjadi justru sebaliknya. Kenaikan harga barang, malahan bisa berlipat kali lebih tinggi daripada kenaikan upah yang diterima. Kalau udah begitu, kenaikan upah sama aja boong!
Ketiga, bagi mentalitas karyawan.
Sebenarnya ada bahayanya ketika kenaikan terjadi hanya secara normatif, dan bukan karena prestasi karyawan.
Dengan kata lain, karyawan menerima kenaikan bukan karena prestasinya.
Kenaikan gaji ini ibaratnya seperti hadiah. Bukan karena kemampuan karyawan yang makin produktif.
Akibatnya, seringkali berlaku prinsip “easy come, easy go”. Karena mendapatnya mudah, perginya juga mudah. Bagaimana perginya?
Dengan pengeluaran yang semakin tidak terkendali. Makanya, tidak mengherankan ketika kita melihat banyak karyawan yang gajinya tinggi, tapi hutangnya juga banyak yang melilitnya.
So, sekali lagi. Janganlah senang ketika gaji kita naik! Masalahnya, apakah mental kita suah siap dengan berbagai efek yang akan mengikuti setelah kenaikan gaji tersebut?
0 komentar:
Posting Komentar