Baru-baru ini di ibukota heboh lagi. Hati saya pun miris mendengarnya.
Bayangkan. Dilaporkan begini.
Seorang anak kelas 2 SD,
bertengkar dengan temannya saat ada acara lomba menggambar. Ternyata cara yang
awalnya ejek-ejekan itu berbuah maut. Ia dipukul di dadanya dan kepalanya.
Ternyata hal ini membuatnya meninggal.
Keluarganya begitu sedih.
Tapi, untungnya diantara sesama
keluarga akhirnya memutuskan untuk menyelesaikan masalahnya secara
kekeluargaan. Masalahpun dianggap selesai oleh polisi.
Tapi itu bukanlah kisah
satu-satunya, banyak anak yang ternyata juga terlibat dalam pertengkaran dan
perkelahian yang berakhir dengan hilangnya nyawa ataupun terlukanya
rekan-rekannya.
Dan ternyata…
Tahun demi tahun kita menyaksikan
kekerasan pada anak terjadi.
Saya ambil beberapa contoh untuk
segarkan ingatan kita kembali.
Di April 2013. Seorang anak, bernama Nur Afis
Kurniawan berusia 6 tahun. Tewas ditenggelamkan ke danau oleh temannya yang baru
berusia 8 tahun gara-gara bocah itu berhutang Rp 1000 kepadanya. Dan ternyata,
pelaku juga tertarik untuk mengambil sandalnya korban. What?
Terus di Mei 2014. Ada anak namnya Renggo Kadapi, 11
tahun tewas setelah dipukuli oleh kakak kelasnya yg berusia 13 tahun gara-gara si
korban menyenggol jatuh makanannya. (Astaga, hanya menyenggol jatuh makanan
kenapa mesti dipukul sampai akhirnya meninggal?)
So, what happened with our
children?
Anak Memodel
Kita selalu diingatkan bahwa
agresifnya anak-anak bukanlah sesuatu yang lahir begitu saja.
Sama sekali tidak ada anak yang lahir
dengan membawa spirit kekerasan. Semuanya adalah pembelajaran lingkungan. Dan
dari manakah anak-anak ini belajar?
Pertama, adalah hasil peniruan
dari lingkungan. Biasanya kekerasan dalam keluarga. Baik yang disadari maupun
tidak, akan menetap dan dipelajari oleh anak-anak tersebut.
Dan celakanya, pembelajaran
tersebut akan terbawa hingga anak-anak dewasa. Kekerasan yang pernah
diperolehnya, biasanya akan dilanjutkan. Misalkan saja, pengakuan berikut ini,
“Waktu
saya main ke rumah anak saya yng sekarang udah berkeluarga, saya kaget melibat
bagaimana ia memukuli anaknya. Perilakunya nyaris persis sama sengan cara saya
memukulinya. Saya jadi menyesal sering memukulinya waktu dia masih anak-anak
dulu”
See? Suatu perilaku kekerasan di rumah, cenderung
akan berlanjut.
Makanya, sebagai orang tua,..semarah dan sekesalnya
kita mesti tetap jaga kelakuan. Jaga kata-kata serta tindakan kita.
Baru-baru ini, ada seorang remaja putri cerita waktu
kuliah pernah memukul pacarnya. Akhirnya hubungan mereka pun bubar. Si remaja
ini menyadari, kalau kekerasan yang dilakukan oleh Ibunya dulu ternyata begitu
membekas. Dulu, ibunya seringkali memukul dan menjambak bahkan membenturkan
kepalanya ke tembok, kalau ada sesuatu yang membuat kesal ibunya.
Kedua, anak-anak memodel dari
media dan pergaulannya. Saat ini, kondisi tayangan televisi kita juga amatlah
longgar. Film jenis kekerasan, banyak dimunculkan di televisi, khususnya di
acara sinetron. Cobalah lihat tema sinetron kita. Pasti berkisah seputar ada
tokoh jahat dan tokoh baik. Dan perjalanan si tokoh jahat untuk mengerjain dan
menjahati si tokoh baik bisa berepisode-episode. Meskipun akhirnya si tokoh
baik yang menang, kondisinya sudah anti klimaks. Kita sudah menyaksikan betapa
banyak perkataan serta cara kelakuan jahat yang telah dipertontonkan.
Makanya, saya sangat anti sinetron
Indonesia yang dikerjakan secara murahan, demi jam tayang dan hanya untuk
mendapatkan rating pemirsa. Saya yakin sebenarnya masih banyak novel berbobot
yang seharusnya dibuat sinetronnya. Tapi sayangnya, mungkin karena masalah
financial dan demi kejar tayang. Muncullah produk-produk sinetron yang lantas
dengan mudahnya mengumbar kekerasan. Dan itulah yang bisa disaksikan anak-anak
kita di malam hari.
Belum lagi, saat inipun ada banyak
game sadis yang berisi tembak-tembakan.
Ambil contoh saja, The Walking
Dead!
Itu lho, yang gamenya berisi
tembakan-tembakan ke arah kepalanya zombie. Dan setelah ditembak, isi kepalanya
si zombie pun pecah dan darahnya bertebaran kemana-mana.
Nah, kebayang nggak kalau anak
terbiasa untuk melakukan game seperti itu?
Warning Buat Orang Tua, Guru dan Pemerintah
Sebenarnya ada dua pihak yang kini
paling bertanggung jawab dengan level kekerasan sang anak. Yakni orang tua dan
guru.
Orang tua yang tiap hari melihat
level kekerasan anaknya, harus menjadi contoh dan harus dengan tegas melerai.
Saya pernah menyaksikan orang tua
yang hanya senang-senang saja ketika anaknya memukul anak yang lain. Begitu
pula, saya pernah menjadi sangat kesel lantaran anak saya dipukul oleh seorang
tua, waktu itu anaknya yang merebut mainan papan seluncur yang udah diduduki
duluan oleh anakku. Tapi rupanya, anaknya menyerobot. Saat itulah yang saya
sempat saksikan adalah bagaimana orang tuanya memukul anak saya.
Setelah memelototin si ibu itu.
Saya masih berpikir bahwa yang salah adalah anak saya yan mungkin membuat
anaknya kesal. Belakangan, saya baru tahu dari kisah anak saya bahwa ternyata
justru anaknya yang menyerobot papan yang sudah diduduki. Kebayang nggak
bagaimana orang tua ini memberikankan contoh kekerasan kepada anaknya?
Selain itu di sekolah pun guru
cukup berperan.
Bagaimanapun guru adalah otoritas
di sekolah yang pasti akan ditakuti oleh murid dan siswa. Karena itu, otoritas
ini bisa dipakai untuk menanamkan hal yang positif. Termasuk mencegah kekerasan
di antara mereka.
Guru jangan diam. Guru jangan
merasa tidak berdaya.
Memang, guru jaman dulu lebih
galak dan lebih “sadis” dibandingkan guru sekarang. Guru sekarang cenderung
lebih demokratis dan lebih persuasive. Mungkin karena mereka telah mengenyam
psikologi pendidikan, sehingga berusaha lebih demokratis. Tapi, demokratis
bukanlah berarti “nggak tegas”.
Justru ketika ada indikasi anak
menjadi terlalu keras, cenderung berpotensi melakukan hal-hal yang merusak,
melakukan bullying kepada temannya. Guru harus memberikan peringatan dan guru
harus men-stop yang seperti itu.
Dalam kasus kematian Anggrah
Ardiansyah, yang amat disesalkan adalah ketidakpekaan sekolah untuk menaruh ia
dengan temannya yang telah sering berkelahi, di kelas yang berbeda. Lagipula,
ketika perkelahian terjadi, tidak ada yang bisa melerai. Akibatnya, anakpun
harus jadi korban perkelahian.
Dan tentunya. Pemerintah juga
harus peduli.
Lihatlah berapa banyak taman
bermain, tempat dimana anak-anak bisa belajar secara sehat. Nyaris semua
bangunan dibangun menjadi mal. Untuk hiburan, harus membayar supaya bisa pergi
ketempat-tempat piknik yang jauh letaknya. Betapa susahnya mendapatkan tempat
dimana anak bisa berlari, bermain dan berolah raga di Ibukota.
Sekali lagi…
Ingatlah, anak-anak tidak
dilahirkan dengan beringas.
Kitalah yang telah menjadikan
mereka seperti itu.
0 komentar:
Posting Komentar