Senin, 28 September 2015

Awas! Anak-Anak Yang Makin Beringas!



 Baru-baru ini di ibukota heboh lagi. Hati saya pun miris mendengarnya.
Bayangkan. Dilaporkan begini.
Seorang anak kelas 2 SD, bertengkar dengan temannya saat ada acara lomba menggambar. Ternyata cara yang awalnya ejek-ejekan itu berbuah maut. Ia dipukul di dadanya dan kepalanya. Ternyata hal ini membuatnya meninggal.
Keluarganya begitu sedih.
Tapi, untungnya diantara sesama keluarga akhirnya memutuskan untuk menyelesaikan masalahnya secara kekeluargaan. Masalahpun dianggap selesai oleh polisi.


Tapi itu bukanlah kisah satu-satunya, banyak anak yang ternyata juga terlibat dalam pertengkaran dan perkelahian yang berakhir dengan hilangnya nyawa ataupun terlukanya rekan-rekannya.

Dan ternyata…
Tahun demi tahun kita menyaksikan kekerasan pada anak terjadi.
Saya ambil beberapa contoh untuk segarkan ingatan kita kembali.

Di April 2013. Seorang anak, bernama Nur Afis Kurniawan berusia 6 tahun. Tewas ditenggelamkan ke danau oleh temannya yang baru berusia 8 tahun gara-gara bocah itu berhutang Rp 1000 kepadanya. Dan ternyata, pelaku juga tertarik untuk mengambil sandalnya korban. What?

Terus di Mei 2014. Ada anak namnya Renggo Kadapi, 11 tahun tewas setelah dipukuli oleh kakak kelasnya yg berusia 13 tahun gara-gara si korban menyenggol jatuh makanannya. (Astaga, hanya menyenggol jatuh makanan kenapa mesti dipukul sampai akhirnya meninggal?)

So, what happened with our children?

Anak Memodel
Kita selalu diingatkan bahwa agresifnya anak-anak bukanlah sesuatu yang lahir begitu saja.
Sama sekali tidak ada anak yang lahir dengan membawa spirit kekerasan. Semuanya adalah pembelajaran lingkungan. Dan dari manakah anak-anak ini belajar?

Pertama, adalah hasil peniruan dari lingkungan. Biasanya kekerasan dalam keluarga. Baik yang disadari maupun tidak, akan menetap dan dipelajari oleh anak-anak tersebut.

Dan celakanya, pembelajaran tersebut akan terbawa hingga anak-anak dewasa. Kekerasan yang pernah diperolehnya, biasanya akan dilanjutkan. Misalkan saja, pengakuan berikut ini,
“Waktu saya main ke rumah anak saya yng sekarang udah berkeluarga, saya kaget melibat bagaimana ia memukuli anaknya. Perilakunya nyaris persis sama sengan cara saya memukulinya. Saya jadi menyesal sering memukulinya waktu dia masih anak-anak dulu”

See? Suatu perilaku kekerasan di rumah, cenderung akan berlanjut.
Makanya, sebagai orang tua,..semarah dan sekesalnya kita mesti tetap jaga kelakuan. Jaga kata-kata serta tindakan kita.

Baru-baru ini, ada seorang remaja putri cerita waktu kuliah pernah memukul pacarnya. Akhirnya hubungan mereka pun bubar. Si remaja ini menyadari, kalau kekerasan yang dilakukan oleh Ibunya dulu ternyata begitu membekas. Dulu, ibunya seringkali memukul dan menjambak bahkan membenturkan kepalanya ke tembok, kalau ada sesuatu yang membuat kesal ibunya.

Kedua, anak-anak memodel dari media dan pergaulannya. Saat ini, kondisi tayangan televisi kita juga amatlah longgar. Film jenis kekerasan, banyak dimunculkan di televisi, khususnya di acara sinetron. Cobalah lihat tema sinetron kita. Pasti berkisah seputar ada tokoh jahat dan tokoh baik. Dan perjalanan si tokoh jahat untuk mengerjain dan menjahati si tokoh baik bisa berepisode-episode. Meskipun akhirnya si tokoh baik yang menang, kondisinya sudah anti klimaks. Kita sudah menyaksikan betapa banyak perkataan serta cara kelakuan jahat yang telah dipertontonkan.

Makanya, saya sangat anti sinetron Indonesia yang dikerjakan secara murahan, demi jam tayang dan hanya untuk mendapatkan rating pemirsa. Saya yakin sebenarnya masih banyak novel berbobot yang seharusnya dibuat sinetronnya. Tapi sayangnya, mungkin karena masalah financial dan demi kejar tayang. Muncullah produk-produk sinetron yang lantas dengan mudahnya mengumbar kekerasan. Dan itulah yang bisa disaksikan anak-anak kita di malam hari.

Belum lagi, saat inipun ada banyak game sadis yang berisi tembak-tembakan.
Ambil contoh saja, The Walking Dead!
Itu lho, yang gamenya berisi tembakan-tembakan ke arah kepalanya zombie. Dan setelah ditembak, isi kepalanya si zombie pun pecah dan darahnya bertebaran kemana-mana.

Nah, kebayang nggak kalau anak terbiasa untuk melakukan game seperti itu?


Warning Buat Orang Tua, Guru dan Pemerintah
Sebenarnya ada dua pihak yang kini paling bertanggung jawab dengan level kekerasan sang anak. Yakni orang tua dan guru.

Orang tua yang tiap hari melihat level kekerasan anaknya, harus menjadi contoh dan harus dengan tegas melerai.

Saya pernah menyaksikan orang tua yang hanya senang-senang saja ketika anaknya memukul anak yang lain. Begitu pula, saya pernah menjadi sangat kesel lantaran anak saya dipukul oleh seorang tua, waktu itu anaknya yang merebut mainan papan seluncur yang udah diduduki duluan oleh anakku. Tapi rupanya, anaknya menyerobot. Saat itulah yang saya sempat saksikan adalah bagaimana orang tuanya memukul anak saya.

Setelah memelototin si ibu itu. Saya masih berpikir bahwa yang salah adalah anak saya yan mungkin membuat anaknya kesal. Belakangan, saya baru tahu dari kisah anak saya bahwa ternyata justru anaknya yang menyerobot papan yang sudah diduduki. Kebayang nggak bagaimana orang tua ini memberikankan contoh kekerasan kepada anaknya?

Selain itu di sekolah pun guru cukup berperan.
Bagaimanapun guru adalah otoritas di sekolah yang pasti akan ditakuti oleh murid dan siswa. Karena itu, otoritas ini bisa dipakai untuk menanamkan hal yang positif. Termasuk mencegah kekerasan di antara mereka.

Guru jangan diam. Guru jangan merasa tidak berdaya.
Memang, guru jaman dulu lebih galak dan lebih “sadis” dibandingkan guru sekarang. Guru sekarang cenderung lebih demokratis dan lebih persuasive. Mungkin karena mereka telah mengenyam psikologi pendidikan, sehingga berusaha lebih demokratis. Tapi, demokratis bukanlah berarti “nggak tegas”.
Justru ketika ada indikasi anak menjadi terlalu keras, cenderung berpotensi melakukan hal-hal yang merusak, melakukan bullying kepada temannya. Guru harus memberikan peringatan dan guru harus men-stop yang seperti itu.

Dalam kasus kematian Anggrah Ardiansyah, yang amat disesalkan adalah ketidakpekaan sekolah untuk menaruh ia dengan temannya yang telah sering berkelahi, di kelas yang berbeda. Lagipula, ketika perkelahian terjadi, tidak ada yang bisa melerai. Akibatnya, anakpun harus jadi korban perkelahian.

Dan tentunya. Pemerintah juga harus peduli.
Lihatlah berapa banyak taman bermain, tempat dimana anak-anak bisa belajar secara sehat. Nyaris semua bangunan dibangun menjadi mal. Untuk hiburan, harus membayar supaya bisa pergi ketempat-tempat piknik yang jauh letaknya. Betapa susahnya mendapatkan tempat dimana anak bisa berlari, bermain dan berolah raga di Ibukota.

Sekali lagi…
Ingatlah, anak-anak tidak dilahirkan dengan beringas.
Kitalah yang telah menjadikan mereka seperti itu.

0 komentar:

Posting Komentar