“Hari gini masih bicara soal loyalitas kerja?”, kata manager yang aku konseling. Begitulah tanggapan yang sering
muncul kalau kita bicara soal topik ini.Banyak yang menganggap setia atau lama
bekerja di suatu perusahaan itu adalah nilai-nilai yang nggak jamannya lagi.
Agak kolot.
Jaman sekarang adalah jaman kutu
loncat.
Jadi tak mengherankan kalau kita
bertemu ataupun mewawancarai yang pengalaman kerjanya baru 2 tahun tapi sudah
berpindah beberapa perusahaan.
Alasan kepindahan itupun beragam.
Yang lumrah adalah karena uang, ada yang karena lingkungan yang tidak
menyenangkan, ada pula yang karena merasa pekerjaannya nggak fit.
Tapi yang jelas, kini banyak
perusahaan yang pusing karena kebanyakan karyawan tidak lagi menghidupi spirit
loyalitas pada perusahaan. Apalagi kalau kita bicara soal generasi millennium.
Generasi Y ataupun Z yang lahir setelah tahun 1980. Dikatakan bahawa salah satu
kebiasaan mereka adalah, tidak betah berlama-lama di suatu organisasi ataupun
perusahaan.
Mengapa Loyalitas Berkurang?
Salah satunya adalah karena
lapangan pekerjaan yang semakin terbuka. Dengan begitu, seorang karyawan kadang
ingin “menguji” kemampuannya di tempat yang berbeda. Tapi, penyebab lainnya
sebenarnya juga berkaitan dengan ketahanan mental. Bertahan lama di suatu
organisasi, tidaklah gampang.
Selain karena bisa jadi tenggelam
dalam comfort zone-nya, ada siklus kejenuhan yang umumnya bisa terjadi, tatkala
seseorang berada terlalu lama di organisasi. Dengan demikian, tak heran banyak
pekerja dewasa ini yang gampang untuk berpindah.
Menariknya, beberapa peneliti
perilaku kerja di Jepang yang konon terkenal sebagai bangsa dengan loyalitas
kerja yang tinggi, menemukan adanya pegereseran nilai juga pada generasi
sekarang. Selain karena alasan kebosanan, serta mencari peluang, salah satu
penyebab lainya adalah karena generasi sekarang dianggap kurang tahan mental.
Tatkala menghadapi masalah, dengan mudahnya “keluar dari tempat kerja” dianggap
sebagai solusinya.
Masih Perlukah Loyalitas?
Mari kita lihat pro dan cons,
ketika seseorang berpindah-pindah kerja.
Kita lihat pro-nya dulu.
Ketika berpindah, alasan yang
paling lumrah adalah karena tawaran dan “paket” yang lebih menguntungkan. Bisa
juga alasan kepindahan karena jam kerja yang lebih pendek ataupun lbih dekat
rumah (biasanya untuk pekerja wanita). Jadi,hal ini menguntungkan secara
pribadi.
Tapi, disisi lain, kenyataan juga
membuktikan beberapa karyawan yang berpindah ternyata puanya peluang karir yang
lebih cepat, dibandingkan yang stay ditempatnya. Seorang rekan Direktur sebuah
bank mengatakan begini, “Kalau dulu saya
nggak keluar dari bank tempat pertama saya keluar dan pindah, mungkin saya cuma
jadi manager di tempat dulu, sampai sekarang”.
Tapi, problemnya tidak semua
bernasib demikian. Ada pula yang karena sangat banyak berpindah, karirnya tidak
pernah “solid”, tidak pernah mapan. Akibatnya posisinya juga hanya
berputar-putar disekitar itu saja. Pendapatannya mungkin saja naik, tapi
karirna tidak melesat.
Memang sih secara gaji ataupun
kesejahteraan, orang yang pindah, kondisinya membaik. Tapi, sebenarnya problem
dengan orang yang hobi pindah-pindah kerja adalah tidak pernah punya kesempatan
untuk membangun kompetensi yang solid. Apalagi, kalau orang tersebut tidak
pernah sungguh-sungguh menyelesaikan suatu proyek, tapi tahu-tahu karena
tawaran menggiurkan, orang ini telah bepindah. Jadilah orang ini menjadi “kutu
loncat” sungguhan tanpa punya kompetensi!
Memaknai Loyalitas Dengan Cara Baru
Saya bukan pembela loyalitas buta.
Juga bukan pembela orang yang
loncat-loncat dari satu organisasi ke organisasi lain.
Tapi, saya pikir, yang namanya
loyalitas memang perlu didefinisikan ulang.
Sebenarnya, ada 4 level loyalitas
yang bisa kita renungkan.
Loyalitas pertama, loyal kepada
orang. Jadi, Anda loyal pada suatu organisasi, karena ada orang tersebut. Kalau
orang itu pindah, Anda pun ikut berpikri karena Anda setia kepadanya.
Loyalitas kedua adalah loyalitas
pada organisasi. Anda nggak peduli, siapapun yang memimpin perusahaan itu, Anda
tetap akan bertahan di perusahaan itu karena Anda suka dengan brand perusahan
itu.
Loyalitas ketiga adalah loyalitas
pada kompetensi. Anda loyal dengan pekerjaan. Jadi mau dimanapun, diperusahaan
manapun, Anda bekerja yang sesuai dengan bakat dan kemampuan Anda. Ini
loyalitas yang mirip pemain sepakbola atau atlit profesional. Nggak peduli dia
bermain di club mananapun. Asalkan dia masih bisa tetap bermain, akan
dijalaninya.
Namun, ada satu loyalitas yang
langka. Loyalitas pada panggilan.
Disinilah seseorang loyal karena
adanaya nilai-nilai tertentu yang diperjuangkan. Dia melihat sesuatu yang mulia
di organisasi dimana ia bekerja saat ini.
Orang bersedia dibayar murah
bahkan mungkin tidak digaji. Tetap memberikan yang terbaik. Karena ia merasa
terpanggil untuk melakukan pekerjaan itu.
Untuk yang satu ini, tanyakanlah
pada pekerja social, pekerja LSM, mengenai loyalitas pada panggilan ini.
Nah, pertanyaannya Anda berada di
level yang manakah?
So, Apa Solusinya?
Pertama, berpindah bukanlah
sesuatu yang tabu. Karena itu menyangkut suatu pilihan. Tetapi,
berpindah-pindah juga bukan nilai yang dianjurkan. Banyak perusahaan yang
justru ngeri dengan mereka yang hobinya berpindah-pindah.
Kedua, alasan berpindah harus
jelas. Jangan terlalu sering berpindah gara-gara hanya beda beberapa ratus ribu
ataupun beberapa juta rupiah saja. Berpindah berarti memulai lagi pembelajaran
dan siklus karir Anda. Anda haru ulai dari nol lagi. Jadi bijaklah tatkala
memutuskan untuk pindah.
Tiga, jangan berpindah sebelum
menyelesaikan proyek Anda. Jangan pula berpindah untuk menghindari masalah. Di
tempat yang baru akan ada tugas yang perlu kamu selesaikan, juga problem yang
baru menanti Anda. Belajarlah menjadi pribadi yang matang, dalam menghadapi
masalah bukan “berpindah” untuk menyelesaikan masalahmu.
0 komentar:
Posting Komentar