Jangan Lekas
Iri Hati!
Iri
hati itu membunuh.
Membunuh
diri kita perlahan-lahan.
Namun,
banyak yang tidak menyadari soal ini.
Baru-baru
ini, saya diceritakan kisah tentang seorang karyawan yang merasa iri dengan
kesuksesan bisnis bossnya. Lantas, ia pun mempengaruhi beberapa orang di
perusahaan itu. Mulailah ia bermain “business dalam business” di perusahaan
itu. Bersama dengan beberapa keryawan yang diajaknya, ia pun membangun kerajaan
bisnisnya. Caranya sederhana, kalau customer merasa terlalu mahal, maka ia pun
akan mengajukan produknya sendiri. Makin lama, ia makin berani. KIni, nyaris
semua customer sekarang ditawarin dengan produknya. Jadi, ia betul-betul
keenakan. Bulanan mendapat gaji dari
perusahaan, tetapi diluar itu, masih bisa mendapatkan untung banyak dari
pelanggan yang membeli produk pribadinya. Tapi, kesalahan fatal mengakhiri
semuanya. Suatu ketika, pelanggan yang dijualin produk pribadinya tidak ‘happy’
dengan kualitas barang yang diterimanya. Tapi, kemudian pelanggan itu complain
ke perusahaan tempat ia bekerja. Maka, kasus “bisnis gelap” itupun terbongkar.
Si karyawan itupun lantas diusir dari perusahaan itu.
Cerita
pun berlanjut…
Si
karyawan itu sudah merasa yakin bahwa ia akan bisa berhasil. Ia sudah kenal
dengan para pelanggan. Tetapi, nyata bisnisnya tidak sukses-sukses amat.
Masalahnya, ketika di perusahaan dulu, ia masih ditopang oleh nama besar
perusahaannya. Tapi sekarang, perusahaan pribadinya bukanlah siapa-siapa
diantara belantara bisnis yang begitu besar. Pelangganpun makin sepi. Dan
akhirnya, si karyawan itu, bisnisnya cuma begitu-begitu saja.
Banyak
kisah semacam itu terjadi.
Khususnya
kisah iri dalam dunia bisnis.
Bahkan,
dalam dunia bisnis, kisahnya bisa lebih kejam. Saya teringat dengan sebuah
kisah di kampungku dulu. Gara-gara urusan bisnis, seorang pebinis menyewa
seorang pembunuh untuk menikam rival bisnisnya. Rival bisnisnya tertusuk parah
tapi si penusuk akhirnya ditangkap, lantas mengaku kalau ia hanyalah suruhan.
Akibatnya, si pebisnis itu kemudian dijebloskan dalam penjara.
Ingatlah,…
DENGAN
MENIUP MATI LILIN ORANG LAIN, TIDAK AKAN MEMBUAT LILINMU BERSINAR LEBIH TERANG
Di dalam bisnisku sekarang, juga penuh
dengan urusan iri meng-iri. Terkadang, meskipun namanya bisa saja seorang
trainer, tetapi trainer kan juga manusia! Jadi, sifat iri hati bisa
sangat-sangat luar biasa besarnya. Dan lebih celakanya lagi, justru karena trainer
dalah pembicara public yang punya massa, hal ini bisa dilontarkan kepada publik
bahkan dimunculkan ke media sosialnya yang bisa dibaca ribuan orang. Ini pun
membentuk opini orang.
Tapi, ada suatu pelajaran tak
terlupakan soal rasa iri hati yang saya pelajari dari seorang pembicara senior
di negeri ini, Pak Gede Prama. Sampai sekarang, saya masih berterima kasih atas
pelajaran sederhana yang pernah ia berikan pada saya dalam perjalanan karir
saya sebagai trainer.
Waktu itu, saya dengan beliau sedang
menunggu untuk rekaman audiobook. Terus terang, saat itu, saya begitu groginya
bertemu beliau. Pak Gede Prama sudah punya nama besar dan sudah dikenal
dimana-mana. Saat itu, saya baru memulai karir dan sedang “grogi-grogi”-nya
karena akhirnya, Gramedia Pustaka Utama setuju untuk membuatkan audiobook soal
Kecerdasan Emosional. Dan pada hari rekaman yang sudah ditentukan, saya pun datang
degan rasa “nervous” tapi sekaligus excited. Dan eh…disitulah, saya melihat Pak
Gede Prama sedang menunggu pula. Sambil duduk disebelahnya, saya mengajak Pak
Gede Prama ngobrol. Saya memulainya dari cerita bahwa saya pernah jadi panitia
waktu ketika Pak Gede Prama diundang ke Astra, tempat saya bekerja di awal
karir saya. Saya bercerita bahwa sebenarnya sudah pernah bertemu dengannya. Hal
itu langsung mencairkan suasana. Dan obrolanpun berlanjut hingga saya
mengajukan suatu pertanyaan,
“Pak, apakah
Bapak merasa tersaingi nggak dengan munculnya banyak motivator atau
pembicara-pembicara yang lebih muda?”
Tahu apa
jawabnya?
“Dik,
kenapa harus merasa tersaingi. Ingatlah pekerjaan ini seperti kayak pasar
malam. Kalau yang jualan di pasar malam itu hanya Gede Prama, pasar malamnya
nggak akan rame. Tapi, kalau yang jualan itu ramai, pasti pengunjungnya juga
akan banyak!”
Wow!
Jawaban
yang tidak pernah akan kulupakan dan hingga kini menjadi filosofiku juga.
Hingga
kini, saya betul-betul mengucapkan terima kasih buat Pak Gede Prama atas
jawabannya itu yang menghapus semua rasa iri hatiku. Betul-betul seperti
terhapuskan!
Makanya,
ketika ada seorang trainer lain yang menuliskan status bahwa dia sedang
mengajar di perusahaan ini dan itu, ataupun sedang berhasil mengadakan suatu
seminar yang sukses dengan ribuan orang. Ataupun, mendapatkan proyek training
di perusahaan ini sekian angkatan, saya tidak merasa iri hati. Sama sekali
tidak iri. Juga bukan rasa kagum yang berlebihan. Hanya perasaan damai yang netral.
Dan itulah yag membuat saya bisa mengucapkan dengan tulus, kalimat seperti “Congratulations for your very successful
seminar” di media social teman trainer yang sukses tersebut. Dan itu, bisa
saya ucapkan dengan sangat-sangat tulus!
Mengapa?
Alasannya sederhana. Karena saya merasa tidak perlu merasa iri. Karena saya
tahu bahwa Tuhan sedang memberikan berkat rejeki baginya (kan dia juga punya
puluhan karyawan, anak istri, bisnis yang harus dihidupinya?). Karena saya pun
tahu, rejeki itu melimpah dan masih ada rejeki lain yang tersedia buat saya. Karena
saya tahu, tatkala saya merasa iri hati, energi saya menjadi negatif dan
malahan jadi nggak kreatif. Karena saya tahu, mungkin trainer itu sedang
membuka “pasar malam” yang akhirnya suatu ketika pengunjungnya, akan mampir ke
stand saya pula. Karena saya tahu pula…bahwa daripada merasa iri lebih baik
saya bertanya, “Bagaimana caranya saya tidak ketinggalan dan bisa belajar dari
kesuksesannya?”
Karena
itulah, saya selalu berkata….
DARIPADA MERASA
IRI HATI DENGAN KESUKSESAN SESEORANG YANG AKHIRNYA MEMBUATMU JADI NEGATIF,
COBALAH BERTANYA BAGAIMANA CARANYA KAMU BISA MENGEMBANGKAN KEMAMPUANMU AGAR
BISA SEPERTI DIA?
Atau,
kalau kita bukan pebisnis, tetapi seorang karyawan. Lebih baik kita bertanya…
DARIPADA
SAYA MERASA IRI DENGAN BOSS-KU YANG SUKSES. BAGAIMANA CARANYA,AGAR SAYA BISA
BELAJAR SOAL KUALITAS BAGUS DARI DIRINYA. LALU, SELAMA SAYA MASIH BEKERJA
UNTUKNYA BAGAIMANA SAYA MENGEMBANGKAN DIRI SAYA DENGAN MEMBERIKAN DIRI SAYA
YANG SEBAIK-BAIKNYA SEHINGGA (KALAU DIA BOSS YANG WARAS) MAKA NASIBKU JUGA
MENJADI LEBIH BAIK DISINI?
Dengan demikian, kita tidak perlu digerogoti rasa
iri yang mendalam terhadap kesuksesan kompetitor bisnis kita. Bahkan, secara
umum, kita pun tidak perlu menjadi iri dengan kesuksesan siapapun. Sebab….
KESUKSESAN
ORANG LAIN, TIDAK AKAN MERAMPAS APAPUN DARI DIRI KITA!
Sebab Tuhan sudah memberikan jatahnya
bagi setiap orang. Tugas kita hanyalah mengembangkan dan melakukan yang
terbaik.
Saya pun jadi ingat lagi kisah yg
sering saya ceritakan ini,
Ada seorang atlit remaja yang
mengikuti pertandingan lari. Ia pun kalah dan kembali ke ruangan dengan
lunglai, juga dengan muka kesel. Si pelatihnya yang melihatnya berkata,
“Kelihatannya kamu sangat kesel dengan hasilnya!”.
“Iya Pak Pelatih.
Tapi lebih keselnya lagi adalah si juara satu itu, sebenarnya sempat
menyenggolku dan suara penonton begitu menganggu. Dan rasanya, si juara satu
itu mau kugampar saja karena dia sudah curang!”
Lantas, si pelatih itu mengajak di
remaja itu ke lapangan tanah merah berpasir. Di situ, ia menggambar sebuah
garis.
“Nah, kalau itu
adalah garis lawanmu, katakanlah bagaimana caramu agar garis lawanmu ini bisa
tampak menjadi lebih pendek?”
“Ha? Lebih
pendek? Gampang aja. Ya dihapus aja kayak gini” kata si remaja itu sambil
menghapus garis itu dengan kakinya.
“Pintar sekali!”
kata pelatihanya sambil melanjutkan,
“Tapi Nak. Ada
satu lagi cara yang bisa kamu lakukan yakni dengan membuat garis lain, yakni
garis dirimu sendiri, yang sedemikian panjangnya sehingga garis lawanmu menjadi
tidak ada artinya!”
Nah, belajarlah dari si pelatih itu.
Belajarlah bahwa kita tidak perlu
menghancurkan, memusuhi, mensabotase, ataupun bahkan menghancurkan orang yang
kita anggap sukses.
Intinya, belajarlah untuk tidak perlu
merasa iri secara negatif.
Kalaupun, kamu masih merasa iri,
cepat-cepatlah bertanya yang positif, “Bagaimana ya caraku bisa memiliki kemampuan
seperti dia yang sukses itu?”
Mulai sekarang, tanyakanlah pertanyaan yang lebih
positif dan…kembangkan garismu sendiri!
Nggak perlu iri hati!
Salam Antusias!
Anthony Dio Martin
0 komentar:
Posting Komentar