Jumat, 13 September 2013

Jangan Lekas Iri Hati!

Jangan Lekas Iri Hati!


Iri hati itu membunuh.
Membunuh diri kita perlahan-lahan.
Namun, banyak yang tidak menyadari soal ini.
Baru-baru ini, saya diceritakan kisah tentang seorang karyawan yang merasa iri dengan kesuksesan bisnis bossnya. Lantas, ia pun mempengaruhi beberapa orang di perusahaan itu. Mulailah ia bermain “business dalam business” di perusahaan itu. Bersama dengan beberapa keryawan yang diajaknya, ia pun membangun kerajaan bisnisnya. Caranya sederhana, kalau customer merasa terlalu mahal, maka ia pun akan mengajukan produknya sendiri. Makin lama, ia makin berani. KIni, nyaris semua customer sekarang ditawarin dengan produknya. Jadi, ia betul-betul keenakan.  Bulanan mendapat gaji dari perusahaan, tetapi diluar itu, masih bisa mendapatkan untung banyak dari pelanggan yang membeli produk pribadinya. Tapi, kesalahan fatal mengakhiri semuanya. Suatu ketika, pelanggan yang dijualin produk pribadinya tidak ‘happy’ dengan kualitas barang yang diterimanya. Tapi, kemudian pelanggan itu complain ke perusahaan tempat ia bekerja. Maka, kasus “bisnis gelap” itupun terbongkar. Si karyawan itupun lantas diusir dari perusahaan itu.
Cerita pun berlanjut…
Si karyawan itu sudah merasa yakin bahwa ia akan bisa berhasil. Ia sudah kenal dengan para pelanggan. Tetapi, nyata bisnisnya tidak sukses-sukses amat. Masalahnya, ketika di perusahaan dulu, ia masih ditopang oleh nama besar perusahaannya. Tapi sekarang, perusahaan pribadinya bukanlah siapa-siapa diantara belantara bisnis yang begitu besar. Pelangganpun makin sepi. Dan akhirnya, si karyawan itu, bisnisnya cuma begitu-begitu saja.
Banyak kisah semacam itu terjadi.
Khususnya kisah iri dalam dunia bisnis.
Bahkan, dalam dunia bisnis, kisahnya bisa lebih kejam. Saya teringat dengan sebuah kisah di kampungku dulu. Gara-gara urusan bisnis, seorang pebinis menyewa seorang pembunuh untuk menikam rival bisnisnya. Rival bisnisnya tertusuk parah tapi si penusuk akhirnya ditangkap, lantas mengaku kalau ia hanyalah suruhan. Akibatnya, si pebisnis itu kemudian dijebloskan dalam penjara.
Ingatlah,…

DENGAN MENIUP MATI LILIN ORANG LAIN, TIDAK AKAN MEMBUAT LILINMU BERSINAR LEBIH TERANG
          
Di dalam bisnisku sekarang, juga penuh dengan urusan iri meng-iri. Terkadang, meskipun namanya bisa saja seorang trainer, tetapi trainer kan juga manusia! Jadi, sifat iri hati bisa sangat-sangat luar biasa besarnya. Dan lebih celakanya lagi, justru karena trainer dalah pembicara public yang punya massa, hal ini bisa dilontarkan kepada publik bahkan dimunculkan ke media sosialnya yang bisa dibaca ribuan orang. Ini pun membentuk opini orang.
          Tapi, ada suatu pelajaran tak terlupakan soal rasa iri hati yang saya pelajari dari seorang pembicara senior di negeri ini, Pak Gede Prama. Sampai sekarang, saya masih berterima kasih atas pelajaran sederhana yang pernah ia berikan pada saya dalam perjalanan karir saya sebagai trainer.
          Waktu itu, saya dengan beliau sedang menunggu untuk rekaman audiobook. Terus terang, saat itu, saya begitu groginya bertemu beliau. Pak Gede Prama sudah punya nama besar dan sudah dikenal dimana-mana. Saat itu, saya baru memulai karir dan sedang “grogi-grogi”-nya karena akhirnya, Gramedia Pustaka Utama setuju untuk membuatkan audiobook soal Kecerdasan Emosional. Dan pada hari rekaman yang sudah ditentukan, saya pun datang degan rasa “nervous” tapi sekaligus excited. Dan eh…disitulah, saya melihat Pak Gede Prama sedang menunggu pula. Sambil duduk disebelahnya, saya mengajak Pak Gede Prama ngobrol. Saya memulainya dari cerita bahwa saya pernah jadi panitia waktu ketika Pak Gede Prama diundang ke Astra, tempat saya bekerja di awal karir saya. Saya bercerita bahwa sebenarnya sudah pernah bertemu dengannya. Hal itu langsung mencairkan suasana. Dan obrolanpun berlanjut hingga saya mengajukan suatu pertanyaan,
“Pak, apakah Bapak merasa tersaingi nggak dengan munculnya banyak motivator atau pembicara-pembicara yang lebih muda?”
Tahu apa jawabnya?
          “Dik, kenapa harus merasa tersaingi. Ingatlah pekerjaan ini seperti kayak pasar malam. Kalau yang jualan di pasar malam itu hanya Gede Prama, pasar malamnya nggak akan rame. Tapi, kalau yang jualan itu ramai, pasti pengunjungnya juga akan banyak!”
Wow!
Jawaban yang tidak pernah akan kulupakan dan hingga kini menjadi filosofiku juga.
Hingga kini, saya betul-betul mengucapkan terima kasih buat Pak Gede Prama atas jawabannya itu yang menghapus semua rasa iri hatiku. Betul-betul seperti terhapuskan!
Makanya, ketika ada seorang trainer lain yang menuliskan status bahwa dia sedang mengajar di perusahaan ini dan itu, ataupun sedang berhasil mengadakan suatu seminar yang sukses dengan ribuan orang. Ataupun, mendapatkan proyek training di perusahaan ini sekian angkatan, saya tidak merasa iri hati. Sama sekali tidak iri. Juga bukan rasa kagum yang berlebihan. Hanya perasaan damai yang netral. Dan itulah yag membuat saya bisa mengucapkan dengan tulus, kalimat seperti “Congratulations for your very successful seminar” di media social teman trainer yang sukses tersebut. Dan itu, bisa saya ucapkan dengan sangat-sangat tulus!
Mengapa? Alasannya sederhana. Karena saya merasa tidak perlu merasa iri. Karena saya tahu bahwa Tuhan sedang memberikan berkat rejeki baginya (kan dia juga punya puluhan karyawan, anak istri, bisnis yang harus dihidupinya?). Karena saya pun tahu, rejeki itu melimpah dan masih ada rejeki lain yang tersedia buat saya. Karena saya tahu, tatkala saya merasa iri hati, energi saya menjadi negatif dan malahan jadi nggak kreatif. Karena saya tahu, mungkin trainer itu sedang membuka “pasar malam” yang akhirnya suatu ketika pengunjungnya, akan mampir ke stand saya pula. Karena saya tahu pula…bahwa daripada merasa iri lebih baik saya bertanya, “Bagaimana caranya saya tidak ketinggalan dan bisa belajar dari kesuksesannya?”
Karena itulah, saya selalu berkata….

DARIPADA MERASA IRI HATI DENGAN KESUKSESAN SESEORANG YANG AKHIRNYA MEMBUATMU JADI NEGATIF, COBALAH BERTANYA BAGAIMANA CARANYA KAMU BISA MENGEMBANGKAN KEMAMPUANMU AGAR BISA SEPERTI DIA?

Atau, kalau kita bukan pebisnis, tetapi seorang karyawan. Lebih baik kita bertanya…

DARIPADA SAYA MERASA IRI DENGAN BOSS-KU YANG SUKSES. BAGAIMANA CARANYA,AGAR SAYA BISA BELAJAR SOAL KUALITAS BAGUS DARI DIRINYA. LALU, SELAMA SAYA MASIH BEKERJA UNTUKNYA BAGAIMANA SAYA MENGEMBANGKAN DIRI SAYA DENGAN MEMBERIKAN DIRI SAYA YANG SEBAIK-BAIKNYA SEHINGGA (KALAU DIA BOSS YANG WARAS) MAKA NASIBKU JUGA MENJADI LEBIH BAIK DISINI?

          Dengan demikian, kita tidak perlu digerogoti rasa iri yang mendalam terhadap kesuksesan kompetitor bisnis kita. Bahkan, secara umum, kita pun tidak perlu menjadi iri dengan kesuksesan siapapun. Sebab….

KESUKSESAN ORANG LAIN, TIDAK AKAN MERAMPAS APAPUN DARI DIRI KITA!
          
Sebab Tuhan sudah memberikan jatahnya bagi setiap orang. Tugas kita hanyalah mengembangkan dan melakukan yang terbaik.
          Saya pun jadi ingat lagi kisah yg sering saya ceritakan ini,
          Ada seorang atlit remaja yang mengikuti pertandingan lari. Ia pun kalah dan kembali ke ruangan dengan lunglai, juga dengan muka kesel. Si pelatihnya yang melihatnya berkata, “Kelihatannya kamu sangat kesel dengan hasilnya!”.
“Iya Pak Pelatih. Tapi lebih keselnya lagi adalah si juara satu itu, sebenarnya sempat menyenggolku dan suara penonton begitu menganggu. Dan rasanya, si juara satu itu mau kugampar saja karena dia sudah curang!”
          Lantas, si pelatih itu mengajak di remaja itu ke lapangan tanah merah berpasir. Di situ, ia menggambar sebuah garis.
“Nah, kalau itu adalah garis lawanmu, katakanlah bagaimana caramu agar garis lawanmu ini bisa tampak menjadi lebih pendek?”
“Ha? Lebih pendek? Gampang aja. Ya dihapus aja kayak gini” kata si remaja itu sambil menghapus garis itu dengan kakinya.
“Pintar sekali!” kata pelatihanya sambil melanjutkan,
“Tapi Nak. Ada satu lagi cara yang bisa kamu lakukan yakni dengan membuat garis lain, yakni garis dirimu sendiri, yang sedemikian panjangnya sehingga garis lawanmu menjadi tidak ada artinya!”
          Nah, belajarlah dari si pelatih itu.
          Belajarlah bahwa kita tidak perlu menghancurkan, memusuhi, mensabotase, ataupun bahkan menghancurkan orang yang kita anggap sukses.
          Intinya, belajarlah untuk tidak perlu merasa iri secara negatif.
          Kalaupun, kamu masih merasa iri, cepat-cepatlah bertanya yang positif, “Bagaimana ya caraku bisa memiliki kemampuan seperti dia yang sukses itu?”
          Mulai sekarang, tanyakanlah pertanyaan yang lebih positif dan…kembangkan garismu sendiri!

          Nggak perlu iri hati!

Salam Antusias!

Anthony Dio Martin

0 komentar:

Posting Komentar