Senin, 05 Maret 2012

"Toxic Relationship" dengan Pasangan Anda!


Baru-baru ini seorang Ibu menceritakan soal relasi dengan suaminya yang mulai bermasalah. Menurutnya, hubungan mereka ibarat, “Hidup segan mati tak mau”. Satu-satunya alasan mereka bertahan adalah kedua anaknya. Pada saat liburan Tahun Baru lalu, masing-masing membawa ‘anak kesayangan’ kembali ke kampung halamannya masing-masing. Si suami, menurut si Ibu itu, mulai menjelek-jelekkan dirinya di depan teman dan keluarga sebagai wanita karir yang tidak peduli anak. Tatkala, si bungsu dirawat di RS gara-gara keracunan, hal ini dijadikan ‘isu’ besar oleh sang suami sehingga si Ibu ini mulai dipersalahkan oleh keluarga besar.



Kasus lain terjadi pada seorang Ibu tiga anak yang harus merelakan mimpi dan karirnya, demi keluarganya. Sayangnya, si suami sama sekali tidak peduli. Bahkan, ketika bisnis impian suaminya mulai rontok, si suami bilang begini, “Dibalik seorang pria yang sukses ada wanita yang hebat. Tapi, dibalik aku yang gagal, ada seorang wanita yang goblok!”. Hal ini betul-betul meyakiti hatinya.



Pembaca, berbagai kisah dan kejadian nyata di atas membawa saya pada pembahasan penting yang ingin saya angkat pada topik kali ini yakni Toxic Relationship, atau kalau diterjemahkan, hubungan yang beracun (bermasalah). Permasalahan antara pasangan ini bukan lagi sekedar persoalan antar pasangan yang biasa, tetapi sudah mulai mengarah pada hal yang destruktif bahkan saling menghancurkan. Biasanya, toxic relationship menjadi awal malapetaka keluarga yang bermuara pada perceraian.



7 Ciri Toxic Relation

Menurut salah satu pakar hubungan, Marni Kinrys, ada beberapa ciri penting dalam Toxic Relation yang bisa terjadi dalam hubungan perkawinan. Mari kita bedah ciri-ciri Toxic Relation ini.



Pertama, ketika masing-masing mulai sering saling menyerang. Ini dilakukan sebagai bentuk pelampiasan ketidaksenangan, rasa frustrasi ataupun kenjengkelan yang selama ini ditumpuk. Kadang-kadang, penyebab pertengkaranpun adalah hal yang sepele. Selama bertengkar pun, masing-masing  merasa berada pada posisi yang benar.



Kedua, ketika Anda sendiri menjadi harus mulai extra hati-hati dengan apa yang diucapkan ataupun dikatakan. Bayangkan, di rumah yang seharusnya Anda orang bisa lepas berekspreasi, tapi justru Anda harus berhati-hati memgungkapkan diri? Biasanya, masing-masing takut kalau mengekspresikan sesuatu, justru akan jadi pemicu pertengakaran. Maka biasanya, terjadi aksi diam disini!



Ketiga, ketika pasangan Anda tidak lagi memberikan pujian ataupun dukungannya tapi lebih banyak celaan bahkan tragisnya, penghinaan! Itulah alarm tanda bahaya! Daripada memberikan energi, Anda merasa bahwa hubungan ini mulai banyak menghabiskan energi.



Keempat, ketika pasangan Anda mulai menjauhkan Anda dari mimpi, aktualisasi ataupun sesuatu membuatmu bermakna. Jadi setelah perkawinan sekian lama, justru Anda merasa semakin terpuruk ataupun semakin tak berkembang. Bahkan, hal ini juga berlaku tatkala Andapun takut melakukan sesuatu hal-hal yang Anda sukai lantaran khawatir dengan  pandangannya yang negatif.



Kelima, ketika pasangan Anda mulai melakukan kebiasaan ataupun tindakan yang berlebihan, namun cenderung negatif. Misalkan saja, ia mulai curiga secara berlebihan, ataupun cemburu secara berlebihan.



Keenam, ketika pasangan Anda mulai bersikap seeneknya, cuek, masa bodoh bahkan tidak lagi menunjukkan penghargaan atas diri Anda. Bahkan, parahnya dia menganggap diri Anda sekan-akan tidak ada sehingga dia cenderung berlaku semau gue tanpa peduli perasaan Anda.



Ketujuh, ketika pasangan mulai membawa persoalan hubungan Anda ke depan umum, kepada keluarga ataupun teman-teman dekatnya. Misalkan dalam status FB, dalam lelucon ataupun perbincangan dengan teman dan keluarga, dia terang-terangan mulai menyerang dan mempersalahkan Anda.





Tips Mengatasi Toxic Relation

Lantas, apa saja yang bisa kita lakukan untuk mengatasi terjadi dan berkembangnya Toxic Relation ini sebelum menjadi parah?

1.     Ubah Dirimu Dulu. Pepatah mengatakan “It takes two for Tango”. Sesuatu tidak terjadi sendirian. Jadi, jangan-jangan, pemicu sikap buruk dari pasangan Anda berasal dari perilaku yang justru tidak Anda sadari. Cobalah cek, dan kalau perlu minta masukan dari rekan-rekan soal sikap Anda yang berpotensi bikin masalah. Jangan-jangan kesalahan yang bisa dilihat oleh teman-temanmu, itulah juga yang kamu tunjukkan pada partnermu sekarang.

2.     Padamkan Apinya Sebelum Besar. Jangan biarkan masalah Anda jadi berlarut-larut. Tatkala Anda merasakan adanya ketidakwajaran dalam hubungan ini, cobalah berkata jujur. Beranikan diri Anda untuk mengkonfrontasikan isu-isunya sebelum masalah menjadi runyam. Memang untuk hal ini terkadang tidak menyenangkan.Tapi harus Anda lakukan, kalau Anda masih berminat menyelamatkan hubungan Anda.

3.     Fokus Pada Masalahnya, Bukan Orangnya. Tatkala pasangan bertengkar, seringkali yang diserang adalah ego ataupun pribadi. Ini tidak benar! Akibatnya, masalahnya yang sesungguhnya, kadang tetap tidak beres-beres. Katakan padanya hal yang tidak Anda sukai serta bagaimana solusi yang Anda harapkan.

4.     Tetapkan Hati untuk Melihat Perubahan. Intinya, pada saat pasangan kita diberikan masukan, mungkin hal itu akan menyebabkan ia bereksi secara berlebihan. Jika sudah demikian, jangan cepat menyerah. Kembalilah pada harapan dan keinginan Anda. Tetap ungkapkan dengan tegas, apa yang Anda harapkan darinya.

5.     Lakukan Time Out. Ketika Anda sudah memberikan masukan tetapi tidak ada perubahan, mungkin saatnya Anda perlu memikirkan ‘time out’ dalam hubungan Anda. Misalkan saja, mencoba untuk mencari waktu masing-masing untuk tidak kontak selama jangka waktu tertentu, bisa dari bebeapa hari hingga sebulan. Setelah itu, cobalah kontak dan tegaskan lagi keinginan Anda. Namun jika pasangan Anda ternyata menolak juga berubah, ada baik melibatkan pihak yang cukup netral untuk membantu Anda.

6.     Jangan Buru-Buru Cerai! Banyak orang yang memutuskan ‘cerai’ sebagai solusi atas toxic relation mereka. Tahukah Anda, fakta statistik dari University of Chicago mengatakan orang yang bercerai ternyata kebanyakan tidaklah lebih bahagia setelah berpisah. Setelah itu, peluang terjadinya perceraian dalam perkawinan yang kedua juga menjadi semakin rentan. Lebih jauh, Professor Mavis Hetherington dari University of Virginia mengatakan 70% dari anak yang orang tuanya bercerai akan memutuskan perceraian sebagai solusi atas masalah perkawinan mereka kelak. So, percaraian tidak selalu jadi solusi.

3 komentar:

  1. Terima Kasih Pak Martin,,,, informasi diatas menjadi bekal untuk my next relationship.... :-)

    BalasHapus
  2. Terkadang masalah mudah diungkap, tetapi sulit diselesaikan...kadang motivasi mudah diucapkan, tetapi sulit dijalani. apa yang Bapak bisa sharekan untuk pasangan yang sudah terlanjut mengalami toxic selain tips di atas? (thanks)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya bisa mengerti komentar Anda, Mbak Maya. Memang pada akhirnya, ada toxic relation yang layak dipertahankan, ada yang tidak pantas dipertahankan lagi. Ukurannya adalah perhitungan cost-benfit. Apa untungnya saya mempertahankan hubungan ini? Mengapa saya harus mempertahankan hubungan ini. Karena itulah ada prinsip 3T dalam hubungan yang Toxic ini, yakni TELAN, TEGAS dan TEGA. Artinya, ada yang terpaksa harus di-TELAN (karena kita mempertimbangkan bahwa kita puna anak, dll), ada yang mesti kita TEGAS (lebih berani belak-blakan daripada jadi keset kaki melulu) dan juga TEGA (ujung akhirnya, kalau memang tidak bisa dipertahankan dan tidak terlalu sehat buat fisik dan mental anak-anak, mungkin saja akhirnya secara "tega" kita memutuskan "sepakat untuk tidak sepakat", misalkan pisah jarak dulu....

      Hapus